”... dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. ” (QS. Al-Hasyr : 9)


Berbagi. Itulah jawaban yang tepat atas pertanyaan apakah gerangan yang dibutuhkan bangsa kita saat ini ? Ya, berbagi suka untuk memupus duka, berbagi kebahagiaan untuk menghilangkan kesedihan, berbagi sekerat makanan untuk menutupi kelaparan, berbagi sedekah untuk tangan yang menengadah, berbagi perlindungan untuk yang kehilangan naungan, dan berbagi peluang berbuat kebajikan untuk yang rindu pahala amalan.

Berbagi, meniadakan keputusasaan. Kehidupan sarat beban terasa lebih ringan. Kepala yang semula tertunduk menahan kelesuan dapat tegak kembali karena datangnya secercah harapan. Berbagi, seperti oase di tengah padang gurun. Menjadi pengobat akan dahaga dan ketidakberdayaan. Berbagi, menjadi pertanda yang menggembirakan karena mewakili kuatnya persaudaraan di antara kaum beriman.

Namun, bilakah kita mampu berbagi ? Anak-anak negeri sekarang sedang menjerit sakit. Para bapak berdalih, jangankan untuk berbagi, memenuhi kebutuhan anak-istri pun terasa sulit. Para pejabat pun ikut mengelak, berdalih kondisi keuangan negara sedang sekarat. Musibah di sana-sini, para pengungsi tak jua tertangani. Bilamana mungkin harus berbagi ? Apa yang harus dibagi saat tak ada satu pun yang dimiliki ?

Berbagi saat lapang adalah niscaya, namun berbagi saat sempit sangatlah sulit. Namun sebenarnya, justru berbagi saat sempitlah yang menunjukkan hakikat berbagi yang sejati. Ia menampakkan pula kekayaan kita yang sesungguhnya, yaitu : iman. Selama masih ada iman didadanya, maka selama itu pula ia masih akan bisa berbagi.

Tengoklah, bagaimana Fatimah bin Muhammad SAW r.a rela menyerahkan satu-satunya seuntai perhiasan miliknya hadiah dari ayahandanya, saat seorang pengemis meminta-minta kepadanya. Hanya karena keajaiban Allah-lah, dengan proses yang berliku, akhirnya perhiasan itu kelak kembali ke tangan Fatimah.

Atau saat sahabat Anshar menjamu seorang Muhajirin, yang menjadi sebab turunnya Surat Al-Hasyr : 9 di awal tulisan. Sahabat Anshar itu sebenarnya hanya memiliki secuil makanan, itu pun untuk makan malam anak-anaknya. Maka, karena kuatnya iman, sang anak disuruh tidur lebih awal, dan lampu rumah dimatikan. Kegelapan itu disengaja, tak lain agar sang tamu dapat menikmati sajian, sementara dirinya dan istrinya mengetuk-ngetuk piring kosong agar bunyinya seolah-olah juga sedang makan.

Kisah berbagi itu diabadikan oleh Allah dalam Al-Quran, karena Allah hendak meyakinkan kepada umat-Nya bahwa kesempitan bukanlah kendala untuk rela berbagi. Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman bahwa Allah akan menguji seseorang yang mengaku beriman kepadanya, termasuk dengan memberi kesempitan dan kesulitan, untuk melihat seberapa kuat keimanannya itu. Ridho Alllah telah dijanjikan-Nya bagi setiap manusia yang berhasil melaluinya dengan ridho pula.

Berbagi tak identik dengan materi. Seorang bapak, juga ibu, sesibuk apapun, perlu berbagi waktu untuk anak-anaknya, sesekali menyapa dan melongok ke dalam dunia mereka. Orang tua yang menjalankan perannya sebagai orang tua, adalah syarat mutlak lahirnya generasi penerus yang bertanggung jawab. Orang tua yang hanya menjadi orang tua biologis menjadi penyebab utama rusaknya moral dan kualitas generasi muda bangsa.

Seorang pegawai perlu berbagi keberanian untuk menciptakan atmosfer kerja yang bersih, tidak me-mark up tender dan proyek sekaligus berani membuka kasus korupsi di institusinya. Seorang pedagang perlu berbagi kejujuran dengan tidak mencurangi timbangan dan penipuan-penipuan sejenis, sekedar untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Setiap orang di amanahnya masing-masing perlu berbagi kebajikan agar unsur kehidupan di bumi, minimal di bangsanya sendiri, dapat benar-benar melihat dan menikmati betapa indahnya berada dalam naungan nilai-nilai Islam.
Berbagi adalah peduli. Berbagi membutuhkan empati. Saat umat di Porong Sidoarjo, menjalani kehidupan dalam keprihatinan dan kesedihan, maka penyelenggaraan acara perkawinan mantan pemimpin negara yang menghabiskan rupiah milyaran, adalah bukti ketiadaan empati dan kepedulian.

Berbagi juga tak berbatas pada geografi. Selama ada tempat yang bisa dipijak di bumi ini maka selebar itu pula peluang untuk berbagi. Mulai dari Aceh, Klaten, Jogja, hingga Palestina, Libanon, Irak, Afghanistan, dan Chechnya pun Amerika. Artinya, kita tak dapat hanya menjadi bangsa yang menjadi tujuan bantuan, namun juga bangsa yang bisa memberi bantuan. Inilah yang disebut Islam bersifat universalitas, relevan untuk seluruh penjuru alam dan kehidupan.

Berbagi saat sempit, terlebih bila mampu mendahulukan kebutuhan orang lain, adalah puncak dari tingkatan hubungan persaudaraan (ukhuwah). Semangat ini dapat menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan. Itu karena ukhuwah merupakan manifestasi kekuatan iman yang melahirkan perasaan kasih sayang yang mendalam, cinta, penghormatan dan rasa saling percaya diantara warganya.

Meski populasi muslimnya terbesar, rakyat dan pemimpin bangsa ini, tak dapat berbangga hati jika masih ada bayi sakit yang ditolak rumah-rumah sakit dengan dalih ketiadaan biaya. Juga tak dapat berbangga jika busung lapar masih mewabah. Atau anak-anak yang mestinya penuh ceria justru menampakkan duka karena harus turun ke jalanan untuk menyambung hidupnya. Atau masih ada segelintir orang kaya yang hasil kekayaannya di dapat dari mengemplang utang dan utangnya harus dibayar negara dari uang rakyat. Atau jika presiden menyampaikan data yang kontrapoduktif dengan realita di parlemen sekedar untuk mendapat pujian atas kinerja dari rakyatnya.

Karena itu berarti, perhatian kita masih berkutat pada diri sendiri. Ramadhan barusan adalah moment yang penting untuk menggugah semangat peduli, berbagi, dan semangat kebajikan lainnya. Namun yang lebih penting lagi adalah, bagaimana agar semangat menebar kebajikan itu sendiri, langgeng adanya sepanjang waktu, meski ramadhan kelak akan berlalu. []

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah : 2)

[terinspirasi oleh : Dr. Hidayat Nur Wahid]

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Saturday, November 11, 2006

1 Responses to Berbagi Sepenuh Hati

  1. Anonymous Says:
  2. TIADA SUATU KERAHASIAAN DI HATI SEORANG HAMBA TERHADAP HAMBA YANG LAIN. JIKA SUATU NIAT UNTUK MEMBERI SUATU ADVISE. HARAPAN AGAR TIDAK MENYINGGUNG HATI PARA PEMBACA, SAYA SUNGGUH KAGUM DENGAN APA YANG ANDA TULISKAN,MESKI TANPA MEMANDANG WAJAH ANDA KEKAGUMAN SAYA SESUNGGUHNYA SANGAT MANUSIAWI MENGINGAT BAHWA TDK PUNYA KMAMPUAN WRITING N FEELING SERTA LOGIKA YG BERJALAN SEJAJAR..SALUT 4 U. YOU INSPIRED ME TO MORE EMPHATY TO THE OTHER. THANX, WASSALAM

     

Subscribe here

Better Place For Children