Di penghujung ramadhan kemarin, sebuah pelatihan menarik (meski singkat) digelar oleh Bank Indonesia Perwakilan Semarang. Namanya, Pelatihan Perbankan Syariah untuk Ustadz/Ustadzah. Rada merinding membacanya, terutama karena teringat tokoh sekaliber KH. Quraish Shihab saja enggan dipanggil Ustadz. 

Alhadmulillah, bersyukur bisa mengikutinya, meski tentu saja saya juga belum pantas disebut ustadz. Tapi paling tidak mungkin nanti bisa ikut mewartakan soal perbankan syariah ini, sebagaimana yang diharapkan oleh penggagasnya. Sosialiasi masif, itu agenda yang dibutuhkan sekarang. (thx to akh faris IKADI Kota Semarang yang telah nge-SMS info kegiatan bagus ini)

Secara pribadi, bukannya hendak menekuni bidang baru yaitu ekonomi syariah. Akan tetapi, dengan menjadi peserta pelatihan ini, setidaknya bertambah pula pengetahuan soal syariah, terlebih hidup tentu tak bisa melepaskan diri dari kegiatan ekonomi. Jadi, boleh dikata, fardhu 'ain hukumnya mempelajari bagaimana syariah mengatur ekonomi, termasuk dunia perbankan.

***

Menurut Deputi yang memberi sambutan pada pelatihan itu, salah satu sebab mengapa terjadi krisis ekonomi terutama di AS dan melebar menjadi krisis global seperti sekarang ini, karena adanya ketamakan atau kerakusan dalam mengambil keuntungan. Walau ada sebagian pihak yang mengatakan, rakus (greedy) dalam kacamata ekonomi diperlukan untuk pengembangan bisnis, namun bagaimanapun, 'too much greedy' akan membawa kesengsaraan.

Dan prinsip syariah, jauh dari sifat 'greedy' itu. Ia juga anti sistem spekulasi, yang menjadi andalan dari ekonomi konvensional, yang berujung pada krisis seperti saat ini.

Namun, sayangnya, di negeri kita, pertumbuhan aset perbankan syariah meski pesat namun baru 2,2 % dari aset perbankan nasional. Khusus Jateng, aset bank syariah baru 2,06 %. Dari segi kuantitas, dari 200 jiwa penduduk Indonesia, baru 1,81 juta jiwa yang menggunakan bank syariah, atau baru 1,4 % yang memiliki 'account' di bank syariah.

Kehandalan sistem syariah ini, malah disambut baik di beberapa negara yang penduduk muslimnya minor. Seperti Singapura, yang bervisi untuk menjadi pusat perbankan syariah di Asia. Sehingga seperti halnya potensi zakat yang masih seperti 'Gaint on sleeping', potensi perbankan syariah mesti di'dibangunkan'. Sebab, ia bisa menjadi penyelamat atas ketakstabilan ekonomi Inodnesia. Pendeknya, selama masih menggunakan sistem bunga (baca : riba), selama itu pula perekonomian Indonesia berada dalam ketidakpastian. Krisis moneter 1998 membuktikan, satu-satunya bank yang tetap eksis hanyalah Bank Muamalat yang menggunakan prinsip syariah.

Menurut Slamet Sulistiono, pemateri pelatihan dari Tim Monitoring Pengawasan Perbankan BI, Indonesia saat ini menggunakan sistem Dual Banking System. Berbeda dengan Malaysia yang menerapkan Windows System atau jika di Indonesia mirip dengan Unit usaha Syariah (UUS). Kelebihan Dual Banking System adalah memungkinkan lahirnya bank syariah yang otonom pengelolaannya.

Saat posting ini ditulis, baru ada 3 bank otonom syariah. (atau jika menggunakan isitilah dalam UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah disebut BUS: Bank Umum Syariah). Mereka adalah : Bank Muammalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega. Lainnya, masih berupa UUS (Unit usaha Syariah) seperti : BNI Syariah, Danamon Syariah, HSBC Amanah, atau Bank Jateng Syariah. Proyeksi kedepan, pada tahun 2023, atau 15 tahun lagi, seluruh UUS harus sudah berwujud BUS. 

***

Mengapa Bank Syariah?
Landasan Ideologisnya adalah perintah Allah, bahwa :
 "Allah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba" (QS 2:275).
"jual-beli boleh dilakukan dengan pemyerahan tangguh (QS 2:282)
"Ummat Islam mengajarkan ta'awun (QS 5 : 2) dan menghindari iktinaz (QS 9:34) 
juga kaidah ushul fiqih, bahwa hampir semua perkerjaan muammalah adalah mubah kecuali ada dalil yang melarangnya.

Faktor terpenting adalah bahwa praktek bank syariah berpegang teguh pada prinsip keadilan. Harta yang terkumpul dari cara yang adil diimani membawa keberkahan akan kehidupan selama didunia maupun di kehidupan setelah hidup alias akhirat.

Dalam paraktek bank konvensional, kreditor tidak pernah mengenal kata rugi. Ia akan selalu mendapatkan untung atas modal yang di tanamnya. Tak pandang si debitor sukses atau rugi dalam menjalankan usahanya. Namun, dalam sistem syariah, Investor (pemberi modal) juga ikut menanggung kerugian jika si entrepreuner merugi, dengan akad yang telah disepakati di awal transaksi. Mengapa? karena selain rugi secara finansial, si entrepreuner juga telah melakukan banyak pengorbanan : usaha, tenaga, pikiran, tekanan, dll. Hal inilah yang tidak pernah diperhitungkan dari sistem konvensional. Jerih payah, kerja keras, pengorbanan tidak diapresiasi dalam sistem ribawi. 

Riba, sebagai penyebab problem utama ekonomi dunia dan sebagai titik point pembeda bank syariah, telah dipetakan sedemikian lugas. Riba terbagi menjadi tiga macam : 'fadl', 'nasiah', dan'jahiliah'. 

Disebut Riba Fadl, jika pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria yang sama secara kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan. Riba nasiah adalah riba karena hutang piutang yang ditentukan sebagai persyaratan pada pelunasannya (tambahan pembayaran). Dan menjadi Jahiliah, jika hutang yang dibayar melebihi pokoknya karena peminjam tidak mampu mengembalikan tepat waktu.

Dalam kasus penukaran uang recehan menjelang lebaran di jalan-jalan, dimana 100 lembar uang seribuan diganti dengan 105.000 rupiah, sebenarnya ia masuk kategori Fadl, namun menjadi halal karena ada satu hal yaitu : Akad. Akad inilah yang membuat si penukar 'ridho' membayar lebih sebagai penggantian jasa ketika si empunya uang receh terlebih dulu rela antri di BI menukar uang.

jadi, Faktor penting yang menjadi pembeda lainnya, adalah adanya AKAD. Dalam praktek bank Syariah, Akad dibedakan menjadi Akad Tabarru' (non profit) dan Tijarah (profit). Masuk dalam kategori Tabarru : Qard, Wadiah (titipan), Wakalah, Kafalah (penanggungan), Rahn (Gadai), Hibah, Waqaf. Sementara Tijarah misalnya : murabahah (jual-beli), salam, isthisna (pemesanan), ijaroh, musyarokah, dan mudharobah.

Sehingga lingkup usaha bank syariah bersifat universal banking, sebagai commercial banking dan investment banking. Bank Syariah tidak menempuh cara transaksi pinjam-meminjam dana sebagai kegiatan komersil. Keistimewaan bank syariah adalah ia bisa menghimpun dan menyalurkan dana sosial (ZISWAF). 

Tantangan dan Peluang
Namun, bukan berarti jalannya bank syariah tanpa tantangan. Beberapa diantaranya : jaringan kantor layanan perbankan yang masih terbatas, SDM berkompeten dan profesional yang belum banyak, pemahaman masyarakat yang kurang, kebijakan pemerintah yang tak sinkron (misalnya soal pajak), skim pembiayaan masih bertumpu pada murabahah (jual-beli) dibanding asas bagi hasil (mudharabah), customer yang berubah dari 'emosional' ke 'rasional' sehingga menghasilkan produk cenderung deposito dan jangka pendek,  dsb. 

Sementara peluangnya, adalah animo masyarakat yang semakin menguat untuk melakukan aktivitas ekonomi berbasis syariah. Juga telah adanya perlindungan legal formal berupa perangkat UU, yaitu UU no.21/2008. (UU ini disahkan Juli 2008 dengan voting. 1 fraksi menolak yaitu PDS. PDIP awalnya menolak, kemudian mendukung). juga potensi investasi Timur Tengah, dan kecenderungan postif lainnya dari lembaga nonkeuangan, seperti sekolah, pendidikan, hukum, dll.

Jadi, tunggu apalagi? ayo bikin account di bank syariah!
Tak perlu ragu, Sebagaimana taglinenya BI :  "Berbagi kebaikan dalam ketulusan;-Bank Syariah, adil berbagi manfaat-"

***

Download Materi Pelatihan Perbankan Syariah BI :

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Thursday, October 09, 2008

2 komentar

  1. Fahri Says:
  2. Mas Doni, mohon di informasikan untuk teman-teman yang lain. Sebagai salah seorang praktisi perbankan syariah situs saya susun sebagai sarana sosialisasi.

    Kunjungi:
    http://shariaxplorer.blogspot.com/

     
  3. yup! terima kasih, segera kami link-kan...

     

Subscribe here

Better Place For Children