Dua hari setelah 'harakiri', masih perih. Ternyata, 'ia' telah mengakar cukup dalam. Masing-masing cabang akarnya menyerabut dan tertancap dalam di hati. Satu persatu ia kupaksa tercabut. Saat satu akarnya tercabut, maka satu kepedihan tercipta. Maka, kurasa aku membutuhkan waktu untuk membersihkannya hingga bersih sama sekali. Karena, setiap pedih berarti setiap kali itu pula aku terduduk.. terjatuh.

Mulut terkatup... terdiam, seribu bahasa. Meski pedih bukanlah hal baru, tapi ini harakiri pertama. Harakiri bimbang? Tidak! Aku tak bimbang. Aku telah melakukannya. Tapi, tak bisa dengan sekali hunjam. TAngkai bunga mawar juga telah kupatahkan. Sudah layu ia. Aku bergelut dengan akar kini... sesuatu yang tak terlihat tapi menjalar, merambat, mencengkeram, sedemikian kuat.

Energiku terkuras habis. Kalau bisa, aku tak ingin mengucap satu kata pun. Aku ingin berkelana dalam diam... dalam kesunyian... Atas setiap goresan kenangan yang tercipta, aku ingin menatapnya buat terakhir kali. Sebelum ia, kulipat, ketekuk, dan kusobek hingga menjadi kepingan,... hingga ia hilang tertiup angin... menjadi debu-debu bercahaya... yang kuharap tak lagi bisa kutemukan...

Aku tak kuasa lagi menyembunyikannya. Sebab, sejatinya tak ada satupun yang tersembunyi yang tak diketahui-Nya. Makin kusembunyikan ia makin tak mampu aku menampakkan wajahku pada-Nya.

Walau tak dapat kupungkiri pula, keindahannya terpancar seperti matahari pagi. Hangat dan menyemangati. Ia menjadi inspirasi, tiada putus, bagi bumi. Ia pelipur segala lara,... pengobat segala duka. Kata-katanya adalah embun pagi. Penyejuk hati kemarau bermusim-musim. Setiap kalimatnya, mengalir layaknya pancuran air bening dari telaga nan jernih.

Namun, saat aku tiba di persimpangan, hanya tersisa dua pilihan. Memeliharanya atau membunuhnya. Memeliharanya jelaslah menyenangkan, tapi itu akan membunuhku suatu kelak nanti. Membunuhnya, pastilah terasa menyakitkan, tapi kurasa itu akan memeliharaku nanti, ...dari bara api.

Ya Rabb...yang menggenggam segala hati... Aku tak punya daya kini. Kupersembahan hatiku kepada-Mu saja. Hati yang penuh luka, hati yang bagi-Mu mungkin sama sekali tak berharga. Cuma karena mengharap Cinta-Mu saja aku menguatkan diri untuk mampu mencampakkan segala cinta yang bisa menodai segala ketulusan. Atas setiap kesalahan, kumohon ampunan...

Kembali terdiam di kaca jendela... kurasa tak perlu sedu sedan itu. Perjumpaan itu tidakah berujung perpisahan. Karena toh ia memang tak pernah benar-benar menghadir bersama. Jadi, mestinya tak perlu pedih, tak perlu ada segala sedih.

Kuhela nafasku. Ada ruang baru kini tercipta. Ya, sebab adalah sebuah kemustahilan jika aku melupakannya sama sekali. Ia, kini kupanggil : putriku, a daughter,... not a princess. Sebagaimana untuk putraku, aku berusaha untuk menjadi ayah yang baik baginya. Ayah yang berusaha untuk bisa membimbingnya menuju al-jannah, seperti Lukman... seperti baginda, Muhammad SAW. Bismillah saja...

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Tuesday, April 29, 2008

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children