Akhirnya, menulis juga. Dalam amarah yang tertahan, entah kepada siapa dan karena apa, aku sempat membuat komitmen yang amat sangat sepihak. Bahwa tidak ada tulisan yang bersifat keakuan yang bisa kubagi kepada dunia. Bahwa tulisanku teramat mahal harganya. It's NOT 4 SALE!

Faktanya kemudian, sebulan ini aku memang tidak menulis apapun di atas binderku ataupun diatas keyboard. Tapi toh, tetap saja tak bisa benar-benar berpisah dengan kata. Aku malah dengan setianya menulisi ruang --yang kemudian kutemukan ia bernama Taman Sunyi, jika menurut Aida Vyasa-- dan lembaran jiwaku dengan kata-kata, banyak melimpah ruah. Karenanya, tidak akan ada yang bisa membacanya selama ia hanya menggunakan indera penglihatan semata. Sebuah tulisan yang dibuat oleh jiwa hanya bisa terbaca oleh jiwa juga. The trutht is 'Eyes can not read, but the soul'.

***

Saat Bu Pratmi, rekan sejawat, menyodorkan sebuah buku sambil memberi embel-embel jika aku pasti 'mudeng', maka segera saja aku melahapnya. Sebuah buku yang yang diberi tulisan 'Novel Filsafat' di pojok kanan atasnya dan ditulis oleh sebuah nama pena, Aida Vyasa. Penulis aslinya menyembunyikan jati dirinya, atau lebih tepatnya menyembunyikan nama aslinya, karena sebenarnya ia malah membuka segala sesuatu dalam dirinya yang mungkin selama ini tersembunyi. Penerbitnya, Tiga Serangkai, kemudian mengklaim bahwa buku ini adalah sebuah autobiografi spiritual.

Dalam sedetik, aku langsung bisa menangkap keistimewaannya. Sebuah biografi tanpa nama. Sangat berbeda dengan biografi orang terkenal atau orang yang berlagak ingin dikenal yang mencetak namanya bahkan dalam ukuran yang lebih besar dari judul bukunya. Ini adalah sebuah buku yang sama sekali tidak berkata "it's me" meski seluruhnya berkisah tentang "me". Ini adalah sebuah buku yang sebenarnya berisi ajakan lembut untuk menyatakan "it's us". 

"Taman Sunyi Sekala" ini berisi sebuah renungan spiritual perjalanan hidup seorang anak manusia. Dalam kesejatian ciptaan Rabb semesta sekalian alam bernama manusia, maka sesungguhnya ia tidaklah butuh nama. Dalam konteks ini maka benarlah lontaran " What's the name", apalah artinya sebuah nama. Jiwa menjadi lebih penting disini, teramat penting.
Dan dimana-mana jiwa memiliki nama yang sama, yaitu : noname alias tak bernama. Orang-orang saja yang kemudian memberinya nama : ruh.

Novel ini, yang sama sekali tak mirip Novel, sebenarnya hendak berkata bahwa kita adalah apa yang kita baca, kita serap, kita tulis, kita alami, kita saksikan, dan kita cintai. Bahwa kehidupan kekinian ternyata selalu tak bisa melepaskan diri dari kehidupan masa lalu. Sebuah 'blink' yang didapat di masa kecil melalui semacam Laura Ingals dalam "Little House on the Prairie" ternyata masih saja menjadi sebuah 'blink' dalam wujud lain di kehidupan kini bahkan juga diyakini di kehidupan masa datang. 

Sebuah inspirasi kebajikan tidak akan pernah mati. Boleh saja "The good always die young", bahwa pahlawan selalu mati muda, tapi "the goodness" atau "the kindness" itu sendiri bersifat abadi dan tak pernah mati. Al-Quran sendiri mengabadikannya, saat memberi jaminan kepada orang-orang hidup yang ditinggal mati para syuhadah (the good) dengan mengatakan "janganlah mengira mereka mati? tidak! bahkan mereka itu hidup" (QS. Ali Imran:169)

Maka, beruntunglah anak-anak pada masa kini, yang memiliki (to belong) orang tua, guru, atau orang dewasa yang pernah hidup di masa lalu, dan menyadari hakikat kehidupan di masa sebelumnya adalah semata agar masa kini lebih baik. Sebab, banyak pula anak-anak yang berada di tengah-tengah orang dewasa ( to have), tapi tak banyak merasakan apa arti kedewasaan, karena mereka yang dewasa rupanya hanyalah 'anak-anak yang terkurung dalam tubuh dewasa'.

Beruntunglah anak-anak itu, yang disodori  buku-buku dan bacaan sarat inspirasi, meski inspirasi itu baru bisa termaknai jauh tahunan ke depan. Beruntunglah juga anak-anak yang di beri kesempatan mengakses tontonan (akui saja dengan lapang dada) TV dan film yang membasuh jiwa, pun juga tontonan yang mengotori jiwa. Sebab yang 'kotor-kotor'itu sejatinya akan menguatkan kekuatan pembasuhan.

Dan pihak yang bertanggungjawab dibalik semua itu adalah : kata (word). Dalam segala rupa kata, ia adalah dalang di segenap peradaban dan pemikiran dunia. Buku yang ditulis, komik yang digambar, koran yang diterbitkan, film yang diproduksi, iklan yang menipu, juga lirik dalam lagu bahkan rupa murni dalam kanvas, semuanya melahirkan kata. Kata adalah sumber kesejahteraan dan kata adalah sumber penderitaan. Selama kata itu ada, selama itu pula perang dan perpecahan antar manusia akan ada. Pula, selama kata itu ada kedamaian akan tercipta. Tak diragukan lagi, The word is the  world's soulmate.

***

Yang menarik buatku adalah, sepertinya buku ini mewakili kesunyian tamanku juga, meski tak simetris dan kongruen. Kaernanya, seperti kataku pada BU Pratmi, aku mau menjadi teman setianya, jika ia di sini. ^_^

Tapi setidaknya, aku tahu, Sekala ini adalah seorang perempuan, dua tahun lebih muda dariku, banyak menghabiskan umurnya di JOgja, pernah belajar Psikologi, dan yang terpenting pernah atau masih berinteraksi dalam dunia pergerakan Islam. Sudah pasti ia mahkluk asing dalam jagat 'bumi'. Dan taman sunyinya itu, bisa dipastikan pula tak bertaburan bunga-bunga dan kupu-kupu. Kasihan! 
(note : Kasihan! adalah kata yang sama dan menjadi kata terakhir yang ditulis dalam "Taman Sunyi Sekala").  

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Thursday, March 19, 2009

6 komentar

  1. Anonymous Says:
  2. pak don justru kadang dalam kesunyian dan kesepian itulah kita menemukan matahari dan udara, jadi kurang sepakat dengan kata2'kasihan'
    walau mungkin itu tak selamanya berlaku.....

     
  3. haha...iya..bener...
    kasihan... itu, juga berlaku untuk diri sendiri...

    gmana bu, bisa menikmati sekalanya?

     
  4. Anonymous Says:
  5. sebelum ini aku sudah beli bukunya karena suruhan teman juga. tapi proses membacanya terhenti hehehehe dan setelah baca ini akan kulanjutkan lagi.
    salam kenal.

     
  6. Unknown Says:
  7. Saya membacanya. Dan tidak tamat-tamat, emang sengaja. Karena didalam buku ini terdapat perenungan-perenungan yang lumayan bagus untuk ditelaah. Sampe saya mandeg sampe halaman 124-130 dimana terdapat pengertian seni dan seniman. Saya suka sekali karena itu sangat memotifasi para penulis mula atau penulis yang sedang mencari jalan kesunyian diri. Mencari jati diri.

    Wiw, kak Jee Asha (siteruterubozu) juga membacanya. Toss!!

    Salam kenal

     
  8. Aida Vyasa Says:
  9. Eko ... aku menemukanmu di sini juga :)

    love it so much ...


     
  10. Ia saya dapat buku itu disebuah lapak yang dibuka secara singkat disalah satu monumen yang ada di Ibu Kota, gak nyangka jika kesunyian mampu juga hadir disebuah keramayan.

     

Subscribe here

Better Place For Children