Hening. Angin pun sepertinya tak hendak berhembus. Rumpun bunga mawar depan rumah Mbah Lam nyaris tak bergerak sama sekali. Satu dua bunganya yang mekar mencoba untuk menjadi pahlawan, mengisi kegersangan kemarau hari ini dengan sedikit keceriaan. Merahnya yang menyala, kontras dengan tanah berdebu yang lama tak terseduh air hujan. Bahkan dalam lamat pun, segala suara terdengar keras. Pun helaan nafasku kali ini. Disebelahnya, gedung RC (lumbung sumberdaya) menjulang tiga lantai. Kali ini meski belum seutuhnya selesai ia terkesan begitu dingin dan angkuh. Sementara atap rumah di tempatku berdiri nyaris menyentuh kepala, dengan kayu dan bambu yang telah lapuk dimakan usia.
Disini dan dipojokan sana, biasanya terdengar riuh rendah celoteh anak-anak Q-Tha. Tapi tidak kali ini. Yang ada cuma Mbah Lam, yang setia memarut kelapa, sendiri, seperti biasa. Di tempatku berdiri ini pulalah aku kali pertama berjumpa dengannya. Sosok yang kemudian menyadarkanku akan hakikat makna belajar.
Inilah pula sejatinya yang terasa. Dibalik senyum ramah sesosok sahabat yang menyambutku pertama kali tadi, ada kesunyian yang teramat dahsyat. Meski senyum itu telah disunggingkan bahkan sejak aku masih berada di dalam mobil, belum lagi menginjak tanah dan mengucapkan salam perjumpaan. Terlebih, meski cuma melihatnya dalam sedetik, matanya itu terasa melihat jauh kedepan, menerawang sesuatu...jauh begitu jauh...
Dan, semakin nyata adanya, ketika kemudian ia memberiku sebuah link blog, berisi catatan hariannya, utamanya tentang kehimpitannya, yang semoga akan berganti segera dengan kelapangan. Lelah? No! Lillah! ^_^
***
Ini adalah kali ketiga kunjunganku ke Q-tha. Kunjungan tersingkat, karena nggak pake nginap. Misi utamanya, sebenarnya menunjukkan jalan bagi PAk Budi dan Tia putrinya terutama, untuk beranjangsana dan menimbang-menimbang kemungkinan Tia bersekolah di Q-Tha. PAk Budi sebenarnya telah lama mendengar Q-Tha, sejak tahun 2005 lalu, tapi baru berkesempatan datang kali ini. Lengkap sekeluarga malah. Bu Budi (yang akrab dipanggil Entik sama Pak Budi), Biru, dan Gigih juga turut serta. Aku sendiri, seperti biasa, mengajak Abiyyu.
Dan misi keduanya, adalah menyambangi 'anak-anakku' ^_^. Bersua dengan mereka, menyapanya, menanyakan kabarnya, dan yahh...seperti biasa, merasakan atmosfer dan suasana keseharian mereka, dalam nyata. Sebab selama hampir setengah tahun ini proses komunikasinya cuma melalui jalur maya. KAlo nggak SMS, ya email, atao FS, ato Blog.
Pak Budi sudah berada dalam titik kulminasi kejenuhan dan nyaris kehilangan kepercayaan dengan sistem pendidikan reguler. Institusi pendidikan, hatta itu milik negara, telah berubah wajah menjadi sebuah industri. Dan sebagaimana industri, tidak ada kearifan disana. Yang ada adalah pendewaan kapital. Semakin besar kapital yang bisa anda kucurkan maka semakin besar wibawa anda disana. Cerdas tapi berbalut miskin? "Halah! Bikin masalah saja! Kalau tidak mampu, jangan sekolah disini!". Begitulah kira-kira jawaban sinisnya.
Sekolah telah berganti rupa menjadi ajang adu prestise para orang tua. Di lain kesempatan, sekolah telah menjelma menjadi sutradara gila, yang memaksa anak untuk menjadi seorang pemeras, kepada orang tuanya. Anak ganti menjadi tukang todong orang tua, karena ia sebelumnya ditodong oleh pihak sekolah. Bayar dulu ini itu, jika ingin dapat ijazah, dan bla bla bla. Nyaris tak nampak jejak-jejak mulia sang guru, saat ia bertahun-tahun mengajarkan kebijaksanaan hidup, di depan kelas bertahun-tahun sebelumnya. Di awal dan akhir tahun ajaran, semua mendadak berubah menjadi drakula. Serahkan lehermu, begitu kau melangkahkan masuk ke pintu gerbang sekolah ini.
Itu baru soal kapital. Belum lagi soal esensi pendidikan. Soal cara belajar. Soal cara pandang terhadap ilmu.
Sungguh ironi. Padahal di negara kapitalis saja, pemerintahnya menjamin teraksesnya pendidikan untuk warganya. Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan adalah hal yang tak terhindarkan. Jerman dan Austria, yang menerapkan sosialisme negara, mendanai seluruh sistem pendidikannya, dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi. Sedangkan negara seperti USA, mendanani hampir keseluruhan pendidikan rendah sampai menengah, dan sebagian pendidikan tinggi. Jadi bukanlah tabu bagi negara, dalam ideologi kapitalisme atau sosialisme, untuk ikut mendanai biaya pendidikan. Sementara kita disini, mengaku bukan kapitalis bukan pula sosialis, tapi jurang yang ada begitu menganga lebar. Makin lama, makin terasa, bahwa pendidikan hanya berhak diakses oleh sebagian kecil warga negara saja. Yang berkantong tebal. "Orang miskin dilarang sekolah!, begitu kritik Eko Prasetyo dalam bukunya.
***
Di teras RC, PAk Din dan Pak Mujab sedang duduk-duduk berbincang ringan. Demi melihat kami datang, Laptop yang semula terbuka, segera dibereskan. Keduanya menerima kami dengan ramah. "Assalamu'alaikum..." kataku sambil menjabat tangan Pak Din.
Setelah mengenalkan PAk Budi ke beliau berdua, bergegas aku masuk ke dalam RC. Di sana, aku tahu, telah menunggu seorang novelis, penggemar Avenged Sevenfold, dan penyuka blackscarf alias jilbab hitam, dialah Maia Rosyida. Juga ada penulis "Gus Yahya, Bukan Cinta Biasa", Fina Af'idatussofa. Plus Annida, yang baru saja rampung menulis novel "Arti Cinta".
Seperti mimpi, bisa berada ditengah-tengah mereka. ^_^ Kesempatan berharga ini kumanfaatkan dengan baik. Tapi tunggu... mana anak-anak yang lain? Mungkin karena libur akhir tahun ajaran, tidak banyak yang nongol di sekolah. Padahal biasanya, Minggu sekalipun, sekolah tetap rame. Hingga kepulanganku, aku tak bisa bersua dengan : Upik, Emy, Eny, Feni, Amin, Salma, Kana, Khusnul, zulfah, ulfah, amik, devi, dan Luluk. Aku cuma ketemu dengan : Maia, Fina, Nida, Oela, Deean, Wikan, Minan, Ghiyast, Zulfi, Dila, Izzah, dan Ipoel juga PAk Ahmad. Vita dan Fitri juga telah hijrah ke Jombang. Tapi, lumayanlah... paling tidak sejauh ini, telah bertemu segelintir dari mereka.
^_^
Dari rumah, aku telah 'menguras' isi rak buku. hihi... padahal cuma tiga biji. Aku ingin buku itu nantinya berganti rak. Dan hari ini, pada Maia, kutitipkan semuanya. Cukup spesial juga sebenarnya buku-buku itu. Tapi aku ingat petuah Rasulullah SAW, jika ingin berbagi, berilah yang terbaik, yang bermakna bagimu, bukan yang sisa-sisa. Itu pula hikmah dari peristiwa mengucurnya darah manusia pertama kali di bumi, dalam kisah Habil dan Qabil bin Adam as, saat diminta Allah mengurbankan sesuatu kepada-Nya.
Buku pertama, "Dead Poets Society". Buku ini memang memberi inspirasi, seperti halnya filmnya. Meski tentu saja berbeda rasa, karena ia diterbitkan setelah filmnya ada. Jadi, cuma semacam sinopsis begitulah. Bagaimanapun, ia adalah kenangan bagiku. Sebait puisi di dalamnya, telah kuambil dan kuabadikan dalam puisiku "First Sight First Hit". Puisi yang kubuat saat Live in di Q-tha pertama kali, dan dibacakan oleh Upik dalam Gelar Karya.
Buku Kedua, "Born Blue : Terlahir Sedih". Kisah pilu anak perempuan yang bersuara merdu dan gemar bersenandung. Senandungnya menjadi pengobat luka hatinya. Buat maia, yang rocker abis, buku ini pastilah bakalan spesial. Jadi, jika buku yang pertama tadi bercerita tentang anak-anak berkecerdasan Lingusitik, maka buku ini bercerita tentang anak yang memiliki kecerdasan musikal.
Buku Ketiga, "Antologi Puisi Jalaludin Rumi : Kado buat Pejuang Cinta". Karya klasik Rumi yang diterbitkan ulang dalam buku modern. Sayangnya, karena terjemahan, jujur kuutarakan pada MAia dan Fina, aku tak cukup bisa menikmati puisi-puisinya. Kurasa, tidak ada jalan lain, selain membaca Rumi dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Artinya, kudu belajar bahasa Arab dulu nih...^_^
Pak Budi, juga serupa. Di akhir perjumpaan, beliau menyerahkan sebuah buku, karyanya sendiri, "Di Kereta Kita Selingkuh" Dan, Pak Din tentu saja tak mau kalah. Ia balik memberi Pak Budi buku terbitan Pustaka Q-Tha "Desaku, Sekolahku" karya Ahmad M. Nizar Alfian. Mahasiswa Arsitektur UNS yang berbulan-bulan live-in di Q-Tha. BUku itu adalah wajah lain dari hasil penelitian dan eksplorasinya terhadap Q-Tha dan desa Kalibening sebagai pendukungnya. Menarik!
PAk Din juga memberiku buku MAs Alfian itu, plus CD Dokumentasi "Jawaban dari Kalibening", yang merupakan kompilasi dari reportase stasiun TV terhadap Q-Tha : Trans TV, Metro TV, TV 7, dan TV Edukasi. Give and Give... not take and give, but give and give... So Nice!. Oiya, lupa... Novelnya Emy, yang "Rindu Cahaya" juga kubawa pulang. Wah, ternyata novelnya tebal juga ya... (nah lo, sempet kebaca apa nggak tuh nanti ^_^)
Pada Fina, kuserahkan padanya beberapa lembar foto. Foto-foto itu, jujur sempat lama berada dalam binderku. Murid-muridku di Sekolah Alam juga sudah akrab dengan foto itu. Terutama yang 'Embun Pagi". Sebagian malah jadi materi Klub Fotografi, dan juga sempat juga ditempel di Mading sekolah. Sekarang, ia sudah kembali ke pemilik aslinya... Smoga jadi lebih bisa memberi kemanfaatan.
***
Pak Budi kemudian berbicang-bicang dengan PAk Din, Pak Mujab, dan Pak Ridwan. Pak Ahmad, sedang mengikuti pelatihan astronomi (ilmu Falak) di lantai 2 RC, sehingga tak bisa ikut bergabung. Aku sendiri, segera menghilang. Aku diajak Ghiyast melihat-lihat hasil lukisannya. Cukup banyak karya lukisannya. Berwarna dan kebanyakan lukisan abstrak. Ghiyast juga memperlihatkan Manga karya Luluk. Rencananya, lukisan-lukisan itu akan dipajang di dinding RC. Wuihh..keren noh! "Aku sama Luluk, nanti pingin bikin galeri, pak..." kata Ghiyast. Siip! hayo ndang dibikin...that's a good idea.
Minan lalu nongol. Oleh Minan, aku dibungkusin Sake (Sari Kedele). KAmi lalu berbincang-bincang tentang pengelolaan sampah organik dan non-organik. Aku sempat memberi Minan sebuah referensi tempat jika ia dan Ghiyast ingin mencoba studi banding, sebelum dilakukan di Q-Tha. Tempat itu di Jogja, namanya Semesta Daur Ulang. Minan benar-benar serius. Tak lama setelah kuberikan info itu, ia segera searching di internet dan mendapatkan alamat lengkapnya. Naga-naganya ia bakalan sungguhan ke sana.
Minan dan Ghiyast juga sempat bercerita kisah pahitnya, njajal ke Semarang berbekal Gitar doang. Mereka bahkan sempat pula beraksi di bangjo ADA BAnyumanik dan di sebuah perumahan elit, sebelum ditangkap sama polisi dan diusir dari sana. Hemm... wajah dunia terasa begitu galak buat anak-anak ya...? "Kenapa ya pak, pengamen itu kok diliat sebelah mata sama orang?" tanya Ghiyast. "Pak, Aku rindu pingin pulang ke Lamongan" kata Minan, di akhir perbincangan. Sayangnya, aku baru nyadar kalo itu berarti ia butuh bantuan, setelah aku berpikir di perjalanan pulang. Tadi, jawabku malah, " pulang toh... anak laki-laki kok... berpetualang ajah. Nunut truk ato bis sambil bawa gitar. Kalo sudah abis rindunya, balik lagi kesini". Dus, Aku jadi ngerasa nggak enak. Tega bener akunya...uufh!
Kembali ke RC, disana rupanya sudah ada Dee, Ipoel, Wikan, dan Oela yang tadi belum nongol. Dee kaget melihatku. Responnya aneh. ia langsung menutup mukanya sambil jongkok...hihi...kaya ketemu kepala sekolah yang galak ajah...^_^ malu apa takut sih ? halah! Gubrak! Oela sedang membolak-balik majalah Foto-Video, yang memang kuberikan padanya. Oela, menyukai foto dan desain grafis. Editingnya is okeh punya! ^_^. Dan, di teras RC itu lalu kamipun menghabiskan waktu. Zulfi juga datang bergabung... jepret sana-sini dengan kamera digital HP jadul (cuma 3,2 pixel) yang kubawa. Tapi lumayanlah, paling tidak moment itu sudah terabadikan. Nida? masih asik ngenet dia di dalam RC sana. Betah amat, Nid? hehe... Abiyyu dan Biru? kompak mereka, asik nge-game. Fina? she was disappear...
***
Tak lama setelah dhuhur, kami dah pamitan. Maia ikut serta. Maia pingin pulang ke rumahnya yang di kota, dekat bunderan, jadi sekalian bareng. Tak diduga, rupanya abahnya Maia, saking baiknya, malah 'menyandera' kami di rumahnya. hihi..ada 2 jam kali kami disana. Ngobrol-ngobrol dan... makan siang bersama. Kata abahnya Maia, yang namanya silahturahim itu harus sempurna, nggak boleh setengah-setengah...^_^ . Aduh... Mai, mau deh kesana lagi, hehe... Anehnya, sepanjang pembicaraan, Maia malah terlihat diam seribu bahasa dan tersenyum ala kadarnya. Kenapa sih Mai ? hehe...
Siang itu, aku juga bikin komitmen dengan Maia. Entahlah, tapi kurasa, memang sudah saatnya, Maia berinteraksi dengan perspektif yang lebih luas, dengan siapa saja. Termasuk dalam hal pencarian penerbit atas karya-karyanya, yang udah mencapai 17 draft. Karya besar tuh... Doain ajah, Mai...semoga dimudahkan sama Allah segala urusan. I do my best... ^_^
Maia, menjadi saksi yang tak bisu, saat aku menendang-nendang mobil, dan menyatakan keinginanku yang belum juga terpenuhi, untuk menemui anak-anak satu persatu, dan bicara dari hati ke hati. Untuk mencari jawaban atas banyak pertanyaan... What do they want to? what are their dream? and What can I do?
Pada Maia, kutitipkan juga sesuatu buat Dee, yang berencana balik ke Jakarta sebentar lagi (kalo jadi...tapi kayaknya jadi deh). Tahun ini memang tahun yang syahdu buat anak-anak Q-Tha. Banyak perpisahannya. Tapi Maia berusaha rileks. Nih anak emang dah terlihat tegar banget. "Paling nanti mereka juga balik lagi" katanya meringankan beban.
Di dalam mobil menuju jalan pulang, SMS masuk, dari Dee. Aku tersenyum membacanya. Tadi, waktu pulang memang nggak sempat pamit sama tuh anak. Makanya kemudian, dia menulis,"kenapa pulang? kok cuma sebentar? trus ngapain kesini?". Dee juga menulis "Aku benci hari ini! Aku benci bertemu ayah! Aku benci senyum ayah! Aku benci!" (Kelak, saat titipan itu telah diberikan oleh Maia, Dee juga masih menulis, " Bisa ketemu lagi nggak? Aku mo balikin pemberian ayah. Aku nggak mau mengenang ayah!"). Hehe...so sweet! Btw, Hari ini (1/7) kau sedang ujian UNPK kan? Moga sukses deh. ^_^
life o life...
hari ini yang jauh, datang
yang kemarin datang, hari ini menjauh
Datang dan pergi
silih berganti
relakan saja
ikhlaskan saja
biarkanlah skenario itu berjalan sebagaimana mestinya
dan lihat siapa yang bertepuk tangan setelahnya
atas ketabahan?
atas keteguhan?
atas kesabaran?
kita
dan penjaga surga.
dan roda pun menggelinding pulang... Abiyyu, mendengkur pelan dipangkuan.
Lelah ? No! Lillah! ^_^
(kalibening, minggu, 29 Juni 2008)
Bro, di rumah sepulang dari Kalibening, ibune anak-anak bertanya, "Hati Pak Doni itu sebenarnya di mana sih,Pak?" Hayo!!!!
hahaha... gimana jawabnya ya bro? ^_^