Ketika Seorang Hamba Menulis

ehem
(batuk-batuk)
...

plung
(suara batu tercemplung air)
...

pluk
(perahu kertas kau luncurkan)

"ayo kita pulang!"
katamu tanpa menoleh.

"dengan perahu itu?"
tanyaku memastikan.

"yup! dan kau nahkodanya!"
jawabmu, masih tanpa menoleh.

Sayangnya, aku memilih untuk tak beranjak dari tempat dudukku.
Hingga kaupun tak sabar, dan menatap ke arahku.

Percuma! Kau takkan dapat menemukan apa yang kau cari.
Mataku sedang tak tertuju padamu.
Aku belum ingin pulang.
Aku masih suka melihat matahari jingga bundar yang pecah berbayang-bayang,
ketika ku lempari ia dengan batu.

plung... dan plung...

Aku tahu, kamu tidak suka senja ini.
sebab ia adalah penghantar kegelapan
Aku juga tahu, engkau enggan berlama-lama dalam suram.
Itu sebabnya, kau lalu mengajakku pulang.

Tapi,
bagi laki-laki sepertiku,
senja adalah awal kehidupan
malam dan suram yang dihantarkannya
adalah laksana siang bagimu
siapa yang masih mampu tergar berdiri hingga pagi hari
dialah laki-laki sesungguhnya.

Tapi baiklah...
kuikuti saja apa katamu.
apa susahnya memutar kemudi hingga dermaga.

"kita tak pulang ke dermaga"
katamu seolah bisa membaca pikiranku.

"kita pulang ke mana kita berawal mula"
katamu menegaskan jawaban.

"Gubrak!"
aku tertonjok.

"Kita telah terlalu jauh berkelana.
Tidakkah kau merasa letih mengembara?
Bawalah aku kembali pada-Nya.
Sebagaimana engkau juga ingin menuju pada-Nya.
Kita berdua, ...merindui-Nya...
Ayo pulang..."
katamu, kali ini begitu lirih tapi begitu jelas kudengar.

Aku tertunduk.
kau juga.

lalu,
angin meniup ujung kerudung putihmu
mencipta keheningan tak terperi
untuk kemudian,
tinggal menyisakan desirnya saja
saat engkau kemudian memudar dan memudar...

dan, perahu kertasmu itu,
berlayar sendiri
menuju matahari jingga bundar yang pecah berbayang-bayang
setiap kali aku melemparinya dengan batu

plung... dan plung...

(smg, 16/08/78 09:45, setelah membaca bait-bait puisi seorang sahabat..)