Tiba di rumah hingga jelang tengah malam (25/10), yang kulakukan adalah memandangi anak-anak yang sedang lelap dalam tidurnya. Salah satu dari mereka, tadi (kata ibunya) telah mengirimiku doa. Dan berkat doa itu, aku (masih) bisa tiba di rumah tak kurang suatu apa (cuma terkilir dikit).

Alhamdulillah wa syukurillah, Allah masih memberiku kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahan, dengan menghindarkanku dari akibat buruk dari sebuah kecelakaan berkendaraan.

Ba'da maghrib, saat perjalanan pulang setelah 'ngisi' di acara KAMMI IAIN Walisongo di Boja-kendal, peristiwa itu terjadi. Dalam sekian detik, aku bertatapan dengan maut. Menjelang gerbang perumahan BSB (Bukit Semarang Baru), ban motor yang dikendalikan oleh Akh Agus, panitia acara, tiba-tiba selip 'njeglong' di bahu jalan, di batas antara aspal dan tanah berbatu di sisi kiri jalan.

Motor limbung, benturan membuat Agus kemudian terpeleset dan ngelongsor dari joknya, tapi tak jatuh karena tangannya berpegangan pada stang. Namun, efeknya, gas justru tambah nggeber, dan menambah laju kendaraan makin kencang dan zigzag. Di depan, lalu lintas sedang ramai, bus besar melaju kencang. Dalam kelimbungan, ia reflek menahan stang agar tak ke kanan menuju bus itu. Dan pada saat yang tepat, Stang terbuang ke kiri, motor keluar jalan, melabrak gronjal batu-batu koral di sisi jalan. Lututnya, seperti Valentino Rossi yang sedang berbelok di pacuan, beradu dengan aspal. Ajaib, kami tak jatuh. Dan motor berhenti setelah ku rengkuh stang dari belakang dan menarik rem depan.

Sepatu sandalku rusak, kurasa tadi ia terseret aspal. Sandal itu telah melindungi telapak kakiku. Tapi luka-luka Agus rada parah, celana katunnya robek besar di lutut, lecet dan berdarah, ujung-ujung jari kakinya mengelupas.

"Afwan, ustadz", ucapnya reflek sambil berjalan tertatih-tatih setelah motor berhenti. "gapapa, nyantai aja, ana pernah yang lebih buruk dari ini", jawabku sambil tertawa. Asli, aku juga heran, kenyarisan ini harusnya minimal membuat hati deg-degan, tapi aku merasa sangat tenang. Tak ada kepanikan, kekagetan atau semacamnya. Tenang banget... Agus kemudian mencari-cari sandalnya, yang terlepas entah dimana.

Karena luka-lukanya, kuambil alih kemudi. KAmi menuju wisma-nya, hendak mengobati lukanya lebih dulu. HUjan deras turun begitu kami sampai di wisma-nya di Perumahan Beringin Ngaliyan. Di wisma, tak ada orang, semua teman-teman konsern di Boja. Ada sejam-an, saat hujan mereda, teman-teman baru datang sambil membawa betadine dan perban.

22.00
Hujan masih gerimis saat aku turun dari angkot pelat hitam di sekitar KOta Lama dekat JOhar. Dengan tas punggung di belakang plus sinar keemasan lampu jalan model klasik, membuatku seperti...hihi..pejuang pulang perang... apalagi dengan langkah yang rada tertatih-tatih dan sandal yang sobek. Halah!

Ada taxi merapat, menawarkan jasanya. Bimbang, tapi akhirnya kugelengkan kepala. Suara dari dalam berbisik, "masa cuma segitu aja perjalanannya". Gairah petualanganku bangkit. Aku lebi memilih berjalan dalam gerimis. Benar-benar tak masuk akal.

Melewati kantor pos, lalu pasar johar. Jalanan sudah sepi. Di emperan, satu dua orang perempuan paruh baya duduk sendiri. Gincunya tebal. Pada pertemuan ke sekian, salah satunya sempat tersenyum dan berkata, "mampir... mas". Aku membalas senyumnya, "terima kasih" sambil menahan rasa iba. Mereka, PSK, korban keganasan kehidupan sebuah kota besar.

Di depan Sri Ratu, aku naik angkot, ke simpang lim
a. Penumpang malam itu, semuanya perempuan, cuma aku dan sopir yang laki-laki. Dari seragamnya, mereka adalah para pekerja mall itu. Di simpang lima, suasana masih agak ramai. Lupa, ini kan malam minggu. Angkot kemudian berganti, ke arah Javamall. Sama, lebih banyak perempuan penumpangnya. Wajah mereka menunjukkan rasa was-was dan sedikit kecemasan. Iba kedua muncul, mestinya kaum ibu ini tak harus sampe segitu kerasnya bekerja. HIngga larut malam begini. Tapi, itu adalah Komplesitas kehidupan kota yang tak selesai dengan cuma melarangnya berhenti bekerja.
Tiba-tiba kepalaku penat....

23.30
Tiba di rumah. PAk Zaini tadi menjemputku di patung kuda UNDIP. Dan mempercepat perjalananku sampai di rumah. Sesaat sebelum tidur, ibunya anak-anak bercerita, kalo tadi menjelang isya, sebelum tidur sikecil mendoakan aku, ayahnya, saat menunggu-nunggu ayahnya yang tak kunjung pulang. "Kita ga boleh pisah sama ayah ya, bu.." begitu katanya. Dan doanya, malam itu terkabul.

"Kamu harus siap ditinggalkan, kapan saja saat ajal itu tiba" warning-ku pada ibunya anak-anak. Itulah salah satu hikmah penting, dari peristiwa yang kualami malam ini. Alhamdulillah...

( photo : abiyyu dan dani bersama sepedanya, hadiah dari Pak Fauzun ^_^)

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Wednesday, October 29, 2008

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children