Barangkali, Fina takkan menduga jika surat eletroniknya yang berisi tentang tanggapan atas kritikan draft novel "Air Mata dalam Kanvas" diposting di blog ini.

Tapi, setelah membaca tanggapannya, sepertinya terlalu sayang jika ia hanya tersimpan dalam inbox mail saja, sebab ada korelasi lumayan berharga antara apa yang ditulisnya dengan kritikanku sebelumnya, rasanya seperti belajar 'live' tentang Jurnalistik dan Kepenulisan. Kurasa, bolehlah mengklaim, jika banyak kemanfaatan yang bisa dipetik dari diskusi tak langsung ini.

Pertama, adalah untuk melihat bagaimana cara seorang penulis membalas kritikan atas karyanya. Seperti apa tanggapannya? Bagaimana ia harus bersikap? Semua orang bisa menerima sanjungan, tapi menerima kritik..hmmm....persoalan lain.

Kedua, Penulis berbagi cerita tentang asal muasal ide atau ilham ia menulis.
Ketiga, kondisi subyektivitas penulis yang mempengaruhi tulisannya.
Keempat, kendala dan bagaimana cara penulis menemukan jalan keluarnya, terutama ketika ia menemukan kebuntuan ide menulis.

Atas alasan 'pembelajaran' ini, semoga saja Fina tak keberatan. Apresiasi juga untuknya yang telah mengenalkan pacar barunya. Pacar yang menurutku, semua orang harus memilikinya..hehe... siapa dia? baca aja tulisan ini selengkapnya :

***

Pak Don thanks banget ya buat kritikannya. Ini yang terpenting buat saya. Karena untuk mengkritik diri sendiri juga susah. (karena terlalu banyak) hehe…

Mengenai tokoh yang nyaris perfect.

Sebenarnya sudah pernah ditegur pembaca tentang penokohan yang selalu menampakkan manusia seperti itu.

Alasan saya,

Sebenarnya … hehe,

Ssst sebenernya… saia agak nggak kuat hati menuliskan tentang orang yang menderita.

Tapi itu dulu, karena dipengaruhi mitos diri yang konyol. Yaitu terjadinya apa yang saya tulis dalam kehidupan nyata. Nah lho!!! Maka saya selalu bicara keindahan. Tentang manusia-manusia yang karakter baiknya saya harapkan menular ke saya. (hehe lebai banget yah)

But, skarang dan seterusnya saya akan terus mencoba memperbaiki. Suatu ketika saya akan berusaha menuliskan sudut pandang lain dengan tokoh yang lain. Tentu semua itu mengalir sesuai perkembangan saya juga.

Tapi saya yakin, ada waktunya untuk membuat karya yang masterpiece. (Pede banget ya pake yakin-yakin segala. Cz ini bagian dari doa. Sebagaimana manusia yang harus yakin kalau sedang berdoa. Biar terijabahi.Amin)

Saya pernah menulis tentang kisah tokoh yang jauh dari kesan perfect, tapi malah mandeg, belum ada alurnya. Saya ingin bercerita tentang orang yang tak dilirik oleh orang sekitarnya, tapi bukan berarti dia benar-benar tak punya apa-apa. Dia tetap punya sesuatu layaknya manusia lain yang juga memiliki fitrah. Bahkan saya pernah bertemu dengan orang seperti itu. Sayangnya saya belum berhasil mengenalnya lama. Karena sempat ada kontrofersi dengan orang-orang sekelilingnya. Walhasil, cerita yang saya dapat darinyapun tak banyak.

Novel itu akhirnya mengendap sementara waktu. Hingga suatu ketika ada seseorang yang meminta untuk menuliskan kisah tentang Ning. Ini permintaan seorang Ning yang protes karena saya selalu nulis soal Gus-Gus. Dia pengin aku bercerita soal Ning yang menyukai seorang pemuda yang tak ada kesan santri sama sekali.

Hingga akhirnya ada yang menawari saya untuk menuliskan kisah hidupnya. Banyak sekali dia bercerita. Saya juga banyak bertanya-tanya tentang prinsip juga pemikirannya. Dan tentang ampilan fisiknya, kebiasaannya, prinsipnya, dan macam-macam, kebanyakan saya jiplak darinya. Juga tentang kecintaannya terhadap Al-Qur’an. Itu pun terinspirasi darinya.

Karena teman itulah yang sering curhat tentang dirinya juga tentang kisahnya. Maka banyak memberikan saya pandangan tentang sebuah cerita. Jadi, saya tulislah kisah hidup itu dengan berbagai macam permakan.

Begitulah.

Dan sebenarnya novel ini jadi atas dasar ketidak inginan saya melukai diri sendiri dengan kevacuman. Maka tumpahan tulisan ini mungkin terlihat sangat konyol. Karena itu tadi, ini adalah wujud balas dendam saya akibat kevacuman yang kemarin itu.

Jadi saya muntahkan segala kata di dalamnya. Biar mbulet-mbulet yang penting harus jadi. Karena sebuah karya itu baru bisa disebut karya kalau sudah jadi. Entah bagaimana bentuknya.

Mengenai Setting…

Jujur sebelumnya saya tak begitu memperhatikan secara mendalam. Pertama saya terinspirasi untuk mengambil Setting Rembang. Di sebuah pondok salaf yang dekat dengan pasar. Tapi begitu menulis lokasi SMU saya jadi terinspirasi tempat tinggal teman saya yang jadi inspirasi saya tadi. Kemudian untuk rumah Om Arya saya terinspirasi lain lagi. Belum lagi ketika Indah harus mengayuh sepeda menuju rumah Anisa. Saya malah terinspirasi Jombang.

Dan lagi-lagi saya selalu terjebak pada setting lokal tiap bicara soal pesantren. Parah,parah…

Wuah ini kebiasaan buruk memang. Tapi saya akan terus belajar untuk membuat setting yang lebih jelas dan realistis. Nanti coba saya edit lagi.

Ya, begitulah. Karena balas dendam jadi segala tempat menarik yang berkelebatan selama satu tahun itu tertuang semua di novel. Ya, ini benar-benar kebiasaan buruk, maka tak ada alasan untuk berhenti belajar.

Pernah mengalami stagnasi

Masya Allah

Kalau ingat tahun lalu.

Sepertinya Pak Don tahu sendiri dari sms dan sout friendster saya tahun lalu yang teriak-teriak mencari kata.

Curhat bentar ya Pak Don..

Heboh sekali jiwa saya digoncang (lebai..^_^) karena kata tak kunjung keluar. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Saya hampir saja jatuh dalam keputus asaan. Tapi untung tidak, Karena sebagai umat muslim nggak boleh putus asa.

Parahnya, saya nyaris tak percaya bahwa saya ini penulis. Bahkan lebih down lagi ketika ada teman yang bertanya tentang cita-cita saya diiringi dengan ucapan yang reflek tapi cukup membuat saya kalut, “Aku nggak percaya kalo cita-cita kamu jadi penulis,”

GUBRAG!!! Saya cuma senyum-senyum antara protes tapi juga sedikit menyalahkan diri sendiri juga karena tak punya bukti untuk memupuk cita-cita yang sebenarnya masih tersemat itu.

Saya terpaksa punya pacar baru.

Karena sejujurnya, dulu saya kurang memperhatikan secara mendalam.

Pacar saya adalah buku dan tulisan-tulisan.

Saya mulai akrab dengan buku-buku, artikel-artikel, dan berbagai macam tulisan saya baca. Yang ringan sampai yang berat (biarpun kadang nggak ngerti maksudnya tapi tetap saya baca) saya kumpulkan buku-buku dari Ebook. Sangat banyak. Hampir tiap hari saya baca. Kemudian tiap hari pula mengumpulkan artikel dari internet. Setiap hari ngopy dan dibaca di rumah. Saya cari cara-cara menulis. Dan segala macam.

“Anda harus mengklaim bahwa anda adalam PENULIS,”

Kalimat itulah yang akhirnya membuat saya memaksa diri saya sendiri untuk mengklaim diri saya benar-benar PENULIS.

Berhari-hari mencari kata. Kadang pesimis diam-diam menyusup. Tapi saya paksakan untuk optimis.

Cerpen-cerpen banyak yang tertulis, tapi hanya berupa prolog saja. Kemudian berhenti. Ganti lagi, ganti lagi, berkali-kali tak menemukan alur. Begitu terus hingga kesekian kali. Bahasa saya jadi super kaku. Tapi saya tetap mencoba dan terus mencoba.

Semua itu adalah bagian dari proses.

Betapa lamanya satu tahun itu. Berat ketika menjalankan. Tapi cukup indah kalau dikenang.

Eh bukan satu tahun ding, tapi DUA TAHUN.

Maka sampai saat ini dan seterusnya, saya masih tetap mencari dan terus mencari makna…

Tapi dua tahun mengalami masa seperti itu membuat saya sadar.

Bahwa bakat itu 1% dan 99% itu kemauan…

Karena dua tahun itu saya benar-benar merasa berangkat dari NOL.

Tapi setelah menelaah buku-buku dan beribu-ribu kata, akhirnya ilmu-ilmu yang dulu sempat lupa, pengetahuan-pengetahuan dari guru yang sempat menguap, seperti kembali lagi jadi satu…

Maka saya jadi sadar bahwa 1% bakat, dan 99% kemauan. Bila dihimpun jadi satu. Sesungguhnya 100% adalah rahmat-Nya. Membuat saya benar-benar menyadari bahwa semuanya sungguh milik-Nya. Dia bisa mencabut kapanpun dan bisa memberikannya kapanpun juga. Asalkan manusia mau belajar dan terus mencari. Bahkan, burung tak akan mendapatkan makan kalau tak mau keluar mencarinya.

Macan tak akan dapat makan sesuai seleranya sendiri jika hanya berdiam diri.

Begitu pula manusia. Jika tak mau mencari maka akan susah mendapatkan apa yang diinginkan.

Segalanya adalah milik-Nya. Dan semuanya hanya titipan semata. Karena memang bukan benar-benar milik kita. Temasuk kata.


CURANG!!!!
hehe… bcanda lho.

Biz kata-kataku keliatan puitis kalo dikupas Pak Don.

Ada nuansa yang beda pokoknya kalo udah masuk ke blognya Pak Don.

Alhamdulillah, Pak Don bersedia mengkritisi novel saya ini. (hikzhikz jadi terharu)

Salut dengan apresiasi yang begitu bermanfaat ini.

Baru beberapa saat lalu meminta Pak Don mengeditkan Novel skaligus mengkritisi, dan sekarang saya benar-benar tahu kalau saya nggak salah pilih.hehe…

Saya banyak belajar. Semoga kedepan bisa lebih baik lagi.


Atas apresiasi dan kritikan yang membangun ini semoga menjadi amal yang baik di sisi-Nya.

Sukses ya!

Syukron Katsir

Barakallah…

^__^


Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Wednesday, April 22, 2009

5 komentar

  1. budi maryono Says:
  2. Aku komen di sini tanpa baca postingan antum coz aku mo baca dulu draf novel itu....

     
  3. -->bulan luka...benr nih betah baca draft 250 haalaman lewat monitor..ntar pedes2 lho...

     
  4. Anonymous Says:
  5. Terangkan padaku...
    mengapa kata-kata bisa menjadi begitu indah dan bermakna
    mungkin suatu hari aku kan mati karenanya
    meski begitu, entah kenapa aku rela saja..

    Fa,Fa!

     
  6. entahlah..kadang tidak semua tanya mesti dijawab...

    Fa,Fa!...siapa?

     
  7. entahlah..kadang tidak semua tanya mesti dijawab...

    Fa,Fa!...siapa?

     

Subscribe here

Better Place For Children