Merenung. Nampaknya itulah hal terbaik yang dapat saya lakukan di akhir tahun ajaran ini. Begitu banyak hal dan peristiwa yang telah saya lalui dalam satu tahun ini bersama mereka, anak-anak kelas 1.

Awal bertemu mereka, saya masih bangga jika disebut guru oleh anak-anak itu. Tapi lama-kelamaan, saya menjadi bingung. Siapa sesungguhnya sosok yang disebut guru itu. Sering kali, saya malah belajar banyak dari anak-anak itu. Bagi saya, justru merekalah gurunya, bukan saya.

Jika saya sulit menyusun kalimat untuk menjelaskan kepada mereka apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata ‘cinta’. Anak-anak itu malah dengan gamblang memperlihatkan ‘stok’ cinta mereka, yang tak terbatas, di depan mata saya.

Mereka sering memberi tanpa harus mengharapkan pamrih. Mereka dapat dengan sangat ikhlas memaafkan temannya yang baru saja melukai hati mereka. Tak ada kata dendam dalam kamus mereka. Tawa mereka tulus apa adanya, tak dibuat-buat.

Maka ketika Anis Matta menulis bahwa “Sekolah Alam adalah Sekolah Kehidupan” dalam Blogspot situs Sekolah Alam yang di Jakarta, saya sungguh sepakat dengannya. Meski Anis Matta bukanlah seorang guru di Sekolah Alam, tapi kejeliannya sebagai seorang ayah yang anaknya sekolah disana patut diacungi jempol.

Di Sekolah Kehidupan, semuanya menjadi pembelajar. Itu berarti bahwa guru dan orang tua dapat pula belajar sesuatu dari anak-anaknya. Itu berarti pula bahwa sekolah bukanlah wahana untuk menghapal ratusan rumus ataupun menyiasati soal ulangan. Tapi lebih dari itu, sekolah adalah media untuk membaca kehidupan dan melahirkan sosok-sosk yang tangguh dalam mengisi kehidupan.

Karena itu, penghargaan setinggi-tingginya saya berikan kepada guru-guru saya. Kepada Bahiy yang dermawan, Zulfa yang empatik, Osa yang bertanggungjawab, Fadhil yang jago gambar, Muthi dan Arin yang jago Inggris, Danang si penulis cepat, Prita yang Ceria, Fuad yang kritis dan jago Sains , Pindha yang kaya inisiatif, Alain yang sangat energik, Yusuf dan Bila yang jago berhitung, dan Aiyla yang hafalan Qurannya banyak.

Saya juga kagum dengan Dinar, Faizah, Farah yang suka berbagi, Atikah yang malasan tapi bercita-cita menjadi mujahidah, Faqih dan Inna yang murah hati, Indra dan Rizal yang sportif, Mifta yang rajin piket, dan Andika yang tak pernah menjahili temannya. Juga tak ketinggalan Dinda dan Sukma yang kompak, Nina yang sangat sayang dengan adiknya, Aulia yang pandai ‘ngemong’ (khususnya Prita), dan Agung yang jarang bikin gaduh.

Oya, dua orang dari mereka (Arina dan Muthi), saat buku ini dibuat, telah giat berlatih untuk dapat menampilkan sesuatu pada acara “Penglepasan Sisiwa TK B”. Mereka nantinya akan menampilkan Farewell Speech, Pidato Perpisahan dalam bahasa Inggris. Sementara, teman-teman lainnya juga telah menyiapkan segala sesuatunya agar saat bagi Raport nanti ada acara Market Day, yang menjadi media memamerkan dan menjual hasil kerajinan tangan mereka.

Banyak hal yang tidak mungkin dapat saya lakukan di kelas 1, tanpa bantuan partner saya mendidik, dialah Bu Eva. Saya mengacungkan jempol untuk Bu Eva, khususnya sikapnya yang super sabar dalam menghadapi gegap gempita tingkah laku anak-anak kelas satu. Untuk urusan sabar, saya masih harus belajar banyak dari beliau ini. Innallaha ma’as shobirin ya, bu…

Kepada Bu Eva juga saya sering mengutarakan kerisauan-kerisauan saya. Kepadanya saya mengatakan bahwa saya risau jika suatu saat ‘keistimewaan’ Sekolah Alam ini perlahan memudar hanya karena adanya adanya kebijakan-kebjakan untuk supaya ‘tidak terlalu berbeda dengan Diknas’. Kurikulumnya dari Diknas, bentuk soal dari Diknas, dan sebagainya, sementara anak-anak ini punya keseharian yang berbeda dengan ala Diknas. Sekolah Alam berada satu langkah di depan, mengapa pula harus menyurutkan langkah ke belakang.

Saya juga risau terhadap karakter atau atmosfer kelas yang berbeda di setiap jenjang. Akankah sikap-sikap positif anak-anak ini kelak dapat dipertahankan seiring dengan pertambahan usianya, di kelas dengan guru yang berbeda dan itu berarti cara penanganan yang berbeda pula. Akankah anak yang dulu pemalu, sekarang sudah PeDe, menjadi pemalu lagi, atau malah menjadi lebih baik lagi ?

Diluar itu semua, saya mengacungkan jempol atas dukungan orang tua murid kelas 1 yang luar biasa. Perhatian orang tua, yang diwakili oleh Pak Agus (Ayahnya Faqih, red) dan pengurus dewan kelas lainnya, membuat saya dan Bu Eva menjadi lebih termotivasi dalam mendidik anak-anak di sekolah. Buku-buku, alat musik seperti seruling dan pianika adalah contoh sebagian kecil saja bentuk perhatian orang tua terhadap kelas 1.
Di penghujung akhir semester II ini, peran orang tua murid sangatlah berarti. Tanpa bantuan mereka, outing kelas 1 ke Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Mas tidak akan dapat dilakukan. 60 % lebih dana dan fasilitas dibantu oleh orang tua murid. Mulai dari sewa bus, snack dan minuman, biaya pemandu hingga urusan surat menyurat perizinan. Semoga nanti, Video Outing Pelabuhannya dapat disaksikan bersama dengan orang tua saat bagi Raport (Sabtu, 25 Juni 2005).

Namun sebenarnya, bantuan yang terbesar bagi kami adalah, ketika anak-anak itu berinteraksi dengan orang tua di rumah. Kekurangan kami di sekolah kami yakin akan tertutupi oleh peranan orang tua di rumah. Karenanya, kami sangat berharap ada keterpaduan ‘penanganan’ antara guru dan orangtua. Paling tidak untuk mencegah adanya dualisme kepribadian pada diri anak. Semisal, di sekolah, dia adalah anak ‘pendiam’, tapi di rumah justru orang tua kesulitan untuk menyuruhnya ‘diam’.

Satu tahun di kelas 1 sangatlah bermakna bagi saya. Buku ini, meski dengan sangat sederhana, berusaha merekam kekayaan makna dan hikmah yang berserak selama di kelas 1. Semoga ia dapat menjadi parameter awal bagi grafik pertumbuhan dan perkembangan anak-anak itu kelak. Lima, 10 atau 20 tahun lagi, jika buku ini masih utuh, ia akan mampu mengetuk hati dan memori anak-anak itu bahwa mereka adalah pemilik fitrah. Dengan fitrah itu, mereka akan menebarkan rahmah ke seluruh penjuru alam semesta. Selaras dengan Islam yang terpahat di hati mereka. Wa Allahu’alam.

[ditulis sebagai pengantar buku akhir tahun Sekolah Alam Ar-Ridho, Oktober 2005]



















Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Monday, February 13, 2006

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children