In the name of Allah the Most Gracious the Most Merciful

Tulisan ini ditujukan kepada Yusuf Caesar (YC), yang menulis sebuah Pledoi : Aku Bukan Kader PKS.

"Aku Bukan Kader PKS"...
Sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan judul ini. Pun, jika kata PKS diganti dengan kata lain seperti : PDIP, Demokrat, dan sebagainya. Ini adalah hak prerogatif seseorang untuk menunjukkan jatidirinya. Menghargainya, adalah sikap yang paling bijak.

Namun, jika yang membaca adalah seorang kader atau bagian dari keluarga besar PKS, maka judul ini cukup untuk bikin garuk-garuk kepala. Mungkin karena bingung, prihatin, atau kerena memang...gatal beneran :>. Tapi, saya tak termasuk kategori itu semua. Saya termasuk dalam kategori yang : menaruh simpati padanya.

Dalam perspektif saya, YC hanyalah seorang VICTIM. Maka, tidaklah tepat jika seorang victim 'diserang', dihujat, 'divonis', bahkan diberi stempel 'the outsider'.
Seorang VICTIM membutuhkan pencerahan, membutuhkan argumen yang mengandung kasih sayang, untuk mengangkatnya dari kondisi ke-victim-an. Kelak, jika lahir victim baru, ia barangkali bisa gantian memberikan pencerahan. Maka nanti, judulnya menjadi : Victim help the Victim. Hehe, just kidding...


Oke, kita mulai saja :

Setiap perbuatan/sikap selalu bermula dari sebuah pemikiran. Untuk merubah perbuatan/sikap maka yang pertama kali diubah/dicerahkan adalah pemikiran. Adanya pertaubatan, karena hati dan otak mulai berpikir untuk takut kepada Allah.
Jadi, penting bagi kita untuk terus meng-update pemikiran. Semakin berkualitas pemikiran maka otomatis akan semakin berkualitas pula sikap dan perbuatan.
Dan, kalo kita pengen tahu siapa manusia yang paling berkualitas pemikirannya, maka jawabannya adalah : Rasulullah. itulah sebabnya, mengapa seorang da'i selalu berusaha menisbatkan pemikirannya dengan apa yang dipikirkan Rasulullah. Deal ?

Persoalan YC ini, sebab musababnya adalah pada proses pembentukan pemikiran. Karena itu, beribu input baru ataupun kuno tidak akan memberi pengaruh apa-apa, jika si YC sendiri memang tidak berniat merubahnya.
Dengan kata lain, si YC sekarang ini sedang bangga dengan pemikirannya, dan tak berniat untuk merubahnya.

Sebelum lebih panjang dan lebar, saya punya sebuah pertanyaan.
Pertanyaan krusial untuk YC adalah : apa tujuan yang hendak kau raih dengan mendeklarasikan sikapmu ini ? sekedar curhatkah ? pamer ? atau dalam hati kecilmu engkau ingin mendapat jawaban atas banyak pertanyaan ? apakah engkau ingin mendapatkan pencerahan sehingga nanti engkau dapat berkata lantang : "Aku Kader PKS !" ?

Jika jawabannya karena sekedar curhat/pamer, maka koment saya berakhir sampai di sini. Tak ada yang dapat saya atau al-alkh yang lain perbuat selain sekedar membacanya.
Dan, jika memang berharap ada pencerahan, maka tulisan ini akan berlanjut.
Tapi, sepeti yang saya katakan tadi, YC harus mau mengganti kacamata kudanya --melihat hanya dari mindset yang sudah tertanam di kepalanya saja--, dan menggantinya dengan kacamata yang lebih canggih, yaitu kacamata kearifan, yang mampu melihat dalam banyak perspektif, dan visioner.

I
Ilmu dan Amal

Sebagian besar dari kita sepakat, bahwa ilmu diperlukan lebih dahulu daripada amal. Tapi sedikit dari kita yang meneruskan kalimat ini; bahwa jika kita pandai 'memeras' amal maka kita pun akan mendapatkan ilmu.

See, begitu banyak orang yang 'body building'. Berburu ilmu kesana kemari dengan mengatasnamakan haus ilmu. Namun, jangan tanya berapa perbandingan penguasaan ilmu yang telah diubah menjadi amal. Pasti selisih jauh.
Apalagi, jika kita tanya berapa banyak ilmu/hikmah yang telah diperoleh dari setiap amalan dan perbuatan. Ini, jauh lebih sedikit lagi.

Setelah membaca tulisan YC ini, saya sampai pada sebuah kesimpulan (yang bisa saja salah) bahwa YC hanya menggunakan tool KOGNITIF untuk memahami PKS. Kognitif artinya, memahami segala sesuatunya melalui jendela knowledge/pengetahuan/ilmu (banyak tahu), hafalan teori, konsep dan pernak-perniknya. Sederhananya, ia banyak mengenali dan memahami. Kita sebut saja dengan : scanning surface, begitu.
Indikasinya, jika ada suatu hal yang saling berkontradiksi dengan pemahamannya, maka resistensi-lah yang akan terasa kental.

Tapi YC tidak konsisten dengan kognisinya, saat mengatakan bahwa : "tak ada satupun orang yang benar-benar menjelaskan kepadaku secara komprehensif soal PKS dan gerakannya...",
padahal, ia pasti sudah membaca, mengenal dan memahami Visi-Misi PKS bahkan juga AD/ART yang dtelah dicetak menjadi buku dan soft copynya juga mudah dicari. Pengunjung blog ini pun telah me-copy paste-kannya di sini.

Itu artinya, YC membutuhkan something 'else' selain knowledge yang sekedar dikognisi. Sesuatu yang dibutuhkan YC inilah yang disebut dengan AFEKSI, sesuatu yang berkaitan dengan hati.

Saya tidak tahu apa yang membuat YC menghilangkan faktor Afeksi dari dalam dirinya saat memahami PKS. Tapi saya yakin seyakin-yakinnya, YC ini mengalami perlakuan kurang adil dari lingkungan dekatnya, khususnya soal keingintahuannya tentang PKS. Perlakuan tak adil itu bisa saja seperti : dianggap sebelah mata, diremehkan, jarang diajak diskusi pengambilan kebijakan, idenya tak diakomodasi, dianggap mbeling, nyeleneh, dan yang setara dengan itu. Perlakuan ini secara tak sadar telah menutup kepekaan afeksinya.

Sehingga, simpati dan empati yang seharusnya didahulukan dalam setiap timbulnya permasalahan malah digantikan dengan analisis rasional belaka. Nggak ada yang salah, tapi kurang sempurna, khususnya dalam kultur 'society' yang menyebut dirinya aktivis dakwah.
Nggak ada yang salah dengan rasional, tapi sekali lagi, input yang masuk ke rasio kita sangatlah terbatas, sehingga memungkinkan adanya kesalahan dalam bersikap.


Dan lagi, seseorang yang berempati kuat dengan saudaranya, tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar saat diminta mengulurkan tangan. Tapi, seseorang yang kehilangan empati, butuh penjelasan yang mendetail, untuk sekedar memintanya memberikan bantuan.
Ini soal kedekatan hati/emosional. Ini adalah bukti dari kalimat bijak, bahwa seseorang yang dekat dengan Allah atau diennnya akan merasa dekat dengan orang lain yang juga dekat dengan Tuhan-Nya, meski keduanya belum/tidak saling mengenal.
YC, pernahkah hati anda merasakan hal yang seperti ini ?
Ini bukan soal al-fahm dengan at-thoah ataupun ats-tsiqoh.

Karena itu, saya sedikit heran, dengan banyaknya interaksi amalan/perbuatan/pengalamannya di KAMMI dan mungkin lembaga lainnya, tak mampu melahirkan ilmu/hikmah baru, yang saat ini sedang kelimpungan dicari.
Sehingga pertanyaan sederhanya : Haree genee..., masih kelimpungan ?
(hehe...ngga ding, just kidding)

Saya hendak mengatakan, jika kognisi/akal kita sulit memahami, maka gunakanlah hati. Gunakan segumpal daging dalam dada itu untuk mendefinisikan jawabannya.

Saya juga tidak akan menjabarkan apa itu PKS, bukan karena tidak tahu atau malas, tapi karena itu hanyalah menyentuh sisi kognisi. Ia tak akan berarti apa-apa.
Ketersentuhan hati-lah yang akan memberikan jawabannya. Seberapa cepat engkau menemukannya, tergantung pada dirimu dan doa yang engkau panjatkan.

II
Islam, Tarbiyah, dan PKS


Saya sekarang sedang berinteraksi dengan seorang asatidz. Namanya tidak ditemukan dalam struktur PKS. Apakah ia bukan kader PKS ? Justru beliaulah yang paling rajin mengkritisi dan menasehati PKS. Apakah dia membela Islam ? Jangan ditanya lagi, beliau merintis sebuah lembaga pendidikan untuk melahirkan jundi-jundi Islam. Tarbiyah ? Setiap ucapannya selalu bermakna, nggak hanya nunggu di liqo'an.

Tiga tahun lalu, saya berinteraksi dengan al-akh yang baru lulus dari salah satu universitas di Mesir. Struktur PKS juga nggak mencatatnya. Buku-bukunya banyak dan 'keren' karena masih khot asli belum terjemahan. Beliau menolak foto, karena takut nanti diminta menghidupkannya diakhirat, dan banyak keunikan lainnya lagi.
Apakah ia menolak disebut kader PKS ? Justru, dialah orang yang memberi perlindungan intelektual dari serangan 'saudara-saudara lain' yang mengecam PKS ahlul bid'ah.
Sekarang dia telah menjadi seorang publisher, dan telah menerbitkan buku tebal non terjemahan.

Banyak tokoh lain, tapi saya sebutkan dua itu saja.

Bagaimana menurut anda fenomena ini ?
Tidak sepatah kata pun pun saya mendengar dari mulut mereka, bahwa mereka menolak disebut kader PKS. Orang-orang besar, orang-orang berilmu, tak menyisakan space dalam otaknya untuk meributkan soal ini.

Islam dengan tarbiyah, Islam dengan PKS, PKS dengan tarbiyah, tak dapat dikonfrontasikan. Mereka berbeda ranah. Islam adalah dien (way of life), sementara PKS hanyalah sebuah wasilah (media) dan tarbiyah juga cuma manhaj (sistem). Media dan Sistem selalu berada di dalam lingkup/naungan Way of Life.

Maka saya prihatin, jika ada yang mengatakan, saya berjuang untuk Islam bukan untuk PKS. Nggak banyak omong deh, banyak merenung, mungkin menjadi jawabannya.

III
PKS dan Semangat Perubahan

Cermatilah sejarah. Perubahan yang dimulai dari sisi sosial saja, seperti yang telah ditunjukkan saudara-saudara kita di NU dan Muhammadiyah, tak akan berujung sempurna. Setengah abad lebih berkiprah, namun warna penguasa tak banyak berubah. Jika ditakar-takar kebijakan yang berpihak pada umat jauh lebih sedikit daripada yang menyakitinya. Itu belum taraf korupsinya.
Intinya, kebangkitan kekuatan umat Islam itu masih mungkin ditelikung ditengah jalan di tangan penguasa.

Untuk ilustrasi : Saat kita hendak membangun TKIT/SDIT, kita terganjal oleh selembar perizinan dari pemerintah. Begitu juga dengan pembangunan Rumah Sakit, Lembaga Sosial, Lembaga Keuangan, bahkan sekedar Organisasi remaja. Juga pesantren, yang diobok-obok dengan dalih antiterorisme.

Distribusi bantuan kepada rakyat juga ditentukan oleh pemerintah. Regulasi/ UU sebagai alat aparat hukum bergerak membasmi kemaksiatan juga ditentukan pemerintahan. Pendeknya, ranah politik adalah sesuatu yang mau tidak mau juga perlu dijamah dalam semangat perubahan. Inilah kesempurnaan Islam, ngga ada bidang kehidupan yang tak terbahaskan di dalam Islam. PKS juga berkarakter demikian.

Pro-kontra soal apakah haroki ini menggunakan nama yang bersifat ormas atau parpol sudah lama usai ditahun 1998, beberapa waktu sebelum dideklarasikannya PK. Banyak faktor pertimbangannya, selain landasan syar'i, Kultur dan hukum positif Indonesia juga dinilai lebih mengakomodasi status parpol jika berniat melakukan perubahan secara politis. Juga ada pertimbangan visioner, untuk menjaga soliditas internal (dan hipotesis ini kemudian memang terbukti)

Kader juga tidak ingin terjebak seperti saudara tuanya, yaitu terjadinya konflik/dualisme kepemimpinan antara partai dengan induknya. Kita turut prihatin dengan apa yang menimpa Muhammadiyah dengan PAN, dan NU dengan PKB, yang hingga sekarang tak kunjung usai.

Jika kita cermati, hanya PKS satu-satunya partai islam/konstituennya dominan Islam, yang Ketua umum/presidennya dilarang menjabat jabatan publik seperti menjadi Ketua Lembaga negara. Bahkan, juga tidak boleh merangkap sebagai anggota DPR.
Pesannya jelas. Jadilah wakil rakyat yang sesungguhnya. Tidak ada konflik interest disana, dan ini meminimalisasi peluang korupsi.

Berjuang didaerah ini (parlemen dan eksekutif) sangatlah melelahkan dan menguras energi. Mendiang Ust. Rahmat berkali-kali mengutarakan maksudnya untuk mundur dan memilih mengurus lembaga dakwah lainnya. Maka, sebaiknya kita membantu mereka, dengan cara yang kita bisa, dan bukan menunjukkan perangai anti atau semacamnya. Ini, tidak memecahkan masalah, namun menambah kepenatan saja.

Dan Blog ini pun, sebenarnya adalah bagian dari pendewasaan berpolitik partai. Nah, Coba jelaskan, apa kontribusi dari pernyataan : Aku Bukan Kader PKS ?
seorang rekan pernah mengatakan pada saya : Saat kita enjoy menimba ilmu di lingkungan tarbiyah, tapi kita nggak mau ikut-ikutan susah dengan salah satu kiprah politiknya. maka dia mirip dengan ungkapan ini.
Maaf ya, pernah dengar : mau makan nangka tapi tak mau kena getahnya, nggak ?

Jika mungul/potensi kita tidak di politik (administrasi negara), maka berjuang di lembaga sosial, pendidikan, advokasi, dll yang dibina gerakan ini pun sangat membantu. Karena ujungnya adalah lahirnya kader yang profesional dibidangnya masing-masing.

Banggakah anda dengan lahirnya penulis-penulis muda dengan ghiroh Islam yang kental ? sutradara yang membuat film penuh hikmah ? aktivis anti korupsi ? pengacara muslim ? pengasuh rumah singgah anak jalanan yang berjilbab lebar? dst.
Nah, Bayangkan, ditengah-tengah kerja dakwah mereka, lalu ada seorang anak muda yang menyeruak ditengah-tengah mereka dan bertanya : apakah anda kader PKS ? atau Anda bukan kader PKS-kan ?

Jadi, tidak selamanya segala sesuatu itu kudu didefinisikan secara jelas dan tertulis. Dalam hidup ini , ada yang disebut dengan konsesi tidak tertulis, tidak ada undang-undangnya , tidak ada bukunya, tapi orang-orang mau menaatinya.

Tidak selamanya pula jatidiri tarbiyah dengan PKS kudu diejahwantakan secara detail untuk memuaskan cara pandang kogntif. Afektif juga perlu mendapat tempat. Terlebih 80 % orang-orang berpengaruh di dunia atau orang-orang sukses memiliki afeksi (EQ) yang lebih tinggi ketimbang yang kognisi (IQ) tinggi. itu kara Ary Ginajar lho.

Dan, saya sengaja tak mengutip dalil disini, karena dengan logika saja sudah cukup. Terlebih saya takut salah dalam menggunakannya. Dalil adalah sesuatu yang haq, tapi seringnya dipakai dalam konteks yang tidak tepat.

Semoga YC tak tersiggung, dan kalo pun tetap belum puas dengan uraiannya, ya semoga ada al-akh lain yang bisa lebih bernas memberikan pencerahan. Mengganti kacamata kuda-nya dengan kaca mata yang lebih arif.





Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Thursday, March 02, 2006

1 Responses to Deklarasi Kisah Sedih :Tanggapan Atas Pledoi-Aku Bukan Kader PKS

  1. Anonymous Says:
  2. Tapi bukankah kebutuhan dihargai merupakan kebutuhan mendasar. Bisa jadi seorang tidak akan merasa dilecehkan apabila at least ada moment di mana ybs didengar suaranya tanpa harus diakomodasi. Dan bisa jadi juga bentuk-bentuk pelecehan/superioritas lain yg ditunjukkan oleh senior yg tidak/kurang pantas bentuk perlakuannya. The bottom line is that tidak hanya yg menulis curhat tsb yg harus introspeksi tetapi juga semua pihak. Ingat..tidak ada reaksi tanpa aksi.

     

Subscribe here

Better Place For Children