Pengantar
Sesaat setelah dihubungi Yusuf Caesar (YC) lewat telepon untuk mengabarkan bahwa saya menggantikan ukhti Azimah Subagyo (sekarang kalo nggak salah adalah Ketua MTP), sebab sebagai pembicara utamanya beliau berhalangan hadir di Loknas Humas KAMMI, maka respon spontan yang saya sampaikan padanya adalah bahwa “it’s a difficult thing…” alias suatu hal yang tidak mudah.

Sebab, tema yang harus saya kawal adalah : Peran Humas dalam Mencitrakan Organisasi. Aduhh, ini seperti menjawab pertanyaan, bagaimana sih caranya menjadi orang baik. Semua pasti sudah tahu jawabannya. Point demi point, setrip demi setrip pasti akan lancar benar terucap.

Dalam konteks ini, apa peran Humas malah sudah dijawab sendiri dalam temanya, yaitu mencitrakan organisasi. Jadi, mau ngapaian lagi. Terlebih, pesertanya adalah para humas atau setidaknya dekat dengan aktivitas kehumasan di daerahnya masing-masing. Jadi, bisa dipastikan, ini adalah hal yang jamak dan bukan ‘sesuatu yang gurih untuk dikunyah’.

Dalam cara yang sederhana, cukuplah kita membaca ‘kitab kuning’nya anak-anak komunikasi, yang ditulis Frank Jefkins yang bertajuk Public Relations, maka semua permasalahan ada semua disana. Duduk, baca, serap, dan selesailah sudah.

Pendeknya, mudah secara kognitif, tapi, disini titik sulitnya… sangat complicated di sisi penerapan. Mudah diomongkan, tapi tantangan sebenarnya adalah bagaimana membuat diskursus klasik humas ini mampu menginternalisasi sedemikian rupa dalam diri peserta, menjadi ruh dan inspiratif.

Dan saya berterima kasih kepada Andreas Harsono, karena menginspirasi saya melalui tulisan di blognya bahwa kadang paper pembicara itu tidak selalu harus berwujud makalah atau jurnal serius, bisa juga berupa tulisan kreatif khas blog seperti ini. Juga kepada Arif Hidayat, Humas KAMMI Semarang yang telah membantu take a shoot beberapa orang/sample untuk mencari tahu seperti apa citra KAMMI itu di benak mereka. Klip video ini akan menjadi bahan diskusi penting dari materi ini.

Pendapat dalam tulisan ini adalah dari kacamata outsider (yang tidak murni, karena pernah aktif di KAMMI beberapa tahun lampau ). Atau ’berdarah campuran’ dalam bahasa J.K Rowling. Karena itu, tulisan ini mungkin terasa tidak imbang, karena dilihat dari kacamata luar. Pengetahuan akan KAMMI kekinian ‘cuma’ saya dapatkan melalui kadang-kadang ‘mengintip’ di diskusi milisnya , websitenya, dan tulisan beberapa kader KAMMI di blognya, lewat koran, TV, atau karena ketiban sampur menjadi narasumber dalam pelatihan KAMMI.

Semoga bermanfaat.
---
Humas Esensi vs Humas Performansi

“Utamakan kerja nyata daripada propaganda dan publikasi…”
--Hasan Al-Banna—

Telah lama sebenarnya kalimat bijak ini bermain-main di kepala. Saya bahkan sempat memprotesnya dalam hati, khususnya saat awal-awal bertemu dengan dunia kehumasan awal tahun 2000. Saat itu spirit of humas begitu menggebu-gebu. Pemeo “siapa yang menguasai informasi maka menguasai dunia”, betul-betul berpengaruh dalam gerak langkah. Dalam benak saya, sebuah kerja besar itu jika tak diimbangi dengan publikasi besar maka akan sia-sia belaka. Publikasi dan propaganda (dengan banyak definisinya), adalah jawaban atas pertanyaan mendasar : apa tuh KAMMI, siapa dia dan ngapaian aja ?

Sekarang, kalimat itu saya amini 100 persen, absolutely, no reserved. Dan jika saja waktu ini bisa dibalik, maka saya ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki kekeliruan pijakan dasar atau kesalahan start perihal kehumasan ini.

Sebuah kerja atau karya riil, adalah humas yang paling esensi. Sementara bagaimana supaya orang mengetahui kerja atau karya riil itu adalah humas performansi. Esensi lebih utama daripada performansi. Ini setara dengan ”Jangan vonis sebuah buku cuma dari cover depannya”. Humas yang lihai mungkin mampu mengubah lumpur berkilauan seperti emas, dan kebatilan nampak seperti kepahlawanan. Padahal lumpur tetaplah lumpur dan kebatilan tetaplah kebatilan.

Satrio Arismunandar dalam salah satu artikel blognya berjudul : ”Strategi Humas dan Biro Pers Israel” berhasil mencontohkan ’humas lihai’ a la Israel. Bahwa penjajahan zaman modern sebenarnya terpampang nyata di depan mata, saat Israel menginvasi Lebanon satu tahun lalu (Juli- Agustus 2006). Namun faktanya, tidak semua orang mengamini bahwa itu adalah sebuah penjajahan bahkan ada pula yang membela. Salah satu sebabnya adalah kelihaian humas Israel dalam melayani pers asing.

Begitu seorang jurnalis asing tiba dan menerima kartu pers, alamat e-mail-nya akan dibanjiri berbagai siaran pers. Setiap hari, telepon selulernya juga nyaris tak akan berhenti berdering, untuk menerima kontak dari petugas humas Israel, yang sudah siap dengan berbagai saran untuk meliput isyu-isyu tertentu. Mereka juga menyediakan makanan dan transportasi gratis, menyediakan narasumber untuk diwawancarai, hotel untuk konferensi pers. Semua kebutuhan pers telah disediakan, diarahkan, dengan tujuan agar pemberitaan ’berpihak’ atau minimal berempati kepada agreasi yang dilakukan Israel. Bagi media kritis yang memberitakan pemberitaan alternatif, Israel tak segan-segan menggunakan ’kuasanya’ untuk memberangus media yang bersangkutan. Ini dilakukan di India (atas desakan Israel) yang melarang Al-Jazeera mengudara. Pelarangan ini agar tayangan kesadisan dan kebrutalan Israel tak disaksikan oleh penduduk dunia.

Humas Ideolog
Karena itu, luaskan pandanganmu. Humas dalam tubuh gerakan mahasiswa, muslim khususnya, punya karakter yang berbeda dengan humas sebuah produk komersial, humas pemerintah, atau humas hotel bintang lima. Sebab Humas dalam tubuh KAMMI bersifat humas ideolog.

Jadi, masalah krusialnya adalah, bagaimana kau meyakinkan orang bahwa ideologimu, pemikiranmu, wacana gerakan sosialmu, dan segala sesuatu yang sifatnya abstrak itu, bisa diterima atau paling tidak dimengerti (understanding) oleh khalayak.

Sekali kau meyakini apa yang diperjuangkan oleh KAMMI ini adalah hal yang mulia, maka seharusnya tak ada keraguan sedikitpun untuk berdiri dan menyebarluaskan tentang mulianya keyakinan itu dimanapun dan kapanpun.

Sesuatu yang bersifat abstrak ini akan sulit disajikan dalam bentuk abstrak pula. Buletin atau newsletter nan indah, di layout dengan teknologi terbaru, pada akhirnya bakalan biasa-biasa saja jikalau kontentnya memang bertaraf kualitas biasa. Itu baru pada tataran kualitas ide/pemikiran.

Lebih lanjut, idenya sudah bagus, didukung pula oleh kepiawaian berdiskusi menyampaikan ide, toh kelak juga menguap keangkasa selama tidak ada jejak-jejak amalnya yang tertorehkan. Atau ada jejak amalnya tapi bertolakbelakang dengan apa yang diutarakannya. Sehingga, paling mudah adalah, dengan menyuguhkan kekonkritan. Ilmu berbanding lurus dengan amal. Publikasi berbanding lurus dengan denyut nadi keseharian.

Bahkan, ide yang baik, disampaikan dengan baik, teramal pula dengan baik, masih harus pula bertarung dengan riya’. Al-Banna melanjutkan kalimat di atas dengan : ” karena khawatir kalau kerja-kerja dakwah tersusupi riya’ yang dapat merusak dan menghancurkannya.”

Ini hal yang berat. Kerja humas pada dasarnya penuh resiko. Sebab, tuntutan publik membuat sebuah organisasi harus senantiasa berada dalam kondisi ideal. Sementara, pencitraan ideal itu berpotensi membawa kehancuran, jika secara internal sejatinya belum cukup ideal. Atau juga karena hal lain : mengejar popularitas. Sebab, makin tinggi pohonnya makin kuat pula anginnya. Makin dicitrakan sebagai organisasi kuat, maka makin bertambah pula bebannya : beban kapabilitas, beban kredibilitas, dan penjagaan kualitas. Kritik akan juga semakin pedas.

Popularitas adalah tantangan berikutnya bagi seorang humas. Ibnu Mas’ud r.a punya jawabannya, ” Jadilah kalian orang yang dinal penduduk langit, tetapi tersembuyi dari penduduk bumi.”

Tugas Mencitra
Sejatinya, kerja humas dalam sebuah gerakan mahasiswa, KAMMI khususnya tidaklah sebatas pada Humas Organ; yang di KAMMI disebut departemen Humas ataspun Biro, Lembaga semi Otonom ataupun sejenisnya. Akan tetapi, melekat pada tubuh atau personal KAMMI secara keseluruhan.

Citra utama KAMMI terbentuk bukan dari Pers Release yang dibuat Humas organ ataupun keluwesannya dalam membina hubungan baik dengan wartawan, organisasi lain, atau pemerintah. Citra utama KAMMI terbentuk dari : aksi yang ditujukannya, sikap yang dinyatakannya, pihak yang dilawannya, kasus yang dilibatinya, referensi yang dibacanya, tokoh yang diidolakannya, atau apa sebenarnya tujuan yang hendak dicapainya. ’Cita rasa’ inilah yang menjadi Citra KAMMI.

Jadi, begitu KAMMI menginjak ranah publik, saat itu pula citranya sedang dibentuk. Apapun bidangnya, sosialkah, politikkah, pemikirankah. Karena itu, penting bagi pengkaderan KAMMI untuk memastikan bahwa seluruh kader memahami dengan betul 5W1H-nya KAMMI. Pemahaman ini mesti tertancap dalam-dalam sebelum meraka kemudian berkiprah sesuai dengan minat-bakat atau mungul kecerdasannya masing-masing sesuai struktur yang ada di KAMMI. Karena kelak, pencitraan yang solid terbentuk dan terukur dari sini.

Pernah lihat bola ( a ball) ? Darimana pun kita memandangnya, citra bola akan selalu kongruen. Seperti itulah kira-kira yang dinamakan pencitraan yang optimal.

Humas, Jurnalis, dan Penulis

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
-- Pramoedya Ananta Toer, dalam Khotbah dari Jalan Hidup--


Dulu, saya sering menggerutu jika diminta untuk menulis selembar pers release. Sebab seringkali rekan-rekan lain yang berdiskusi panjang lebar, tapi justru humaslah yang kebagian tugas menulisnya, padahal kadang saya atau staf humas lain tidak selalu bisa mengikuti diskusi. Sehingga, bisa dikatakan, humas harus mencari tambahan bahan tulisan sendiri.

Sekarang, saya justru bersyukur. Sebab dari banyak menulis pers release itu, telah membuka gerbang : dunia kepenulisan, sekaligus kualitas membaca. Kemampuan menulis semakin terasah dan terbukti kemudian menjadi senjata untuk survive dalam kehidupan pascakampus.

Petuah Pramoedya diatas layak diamini. KAMMI telah banyak jatuh bangun sepanjang sejarahnya, dan kader-kadernya telah berkorban atas banyak hal. Tak terhitung banyaknya, curahan hati para kader diseluruh penjuru nusantara yang berkisahnya sakitnya digebuk aparat, diteror sekelompok preman, dilecehkan, hingga kuliah yang berantakan, dan seabrek cerita pahit lainnya. Demi satu hal, meng-oposisi kebatilan, yang menjadi musuh abadi KAMMI. (Walaupun kemudian, beberapa pengamat mengatakan, apa yang dilakukan KAMMI terlalu absurd dan kurang spesifik untuk zaman sekarang. Dan menjadi faktor munculnya gerakan-gerakan muda alternatif). Namun, kisah heorik perjuangan itu tak boleh lenyap begitu saja tanpa bekas. Ia harus menjadi inspirator bagi gerakan masa datang.

Disinilah peran spesifik staf Humas. Untuk mengabadikan perjuangan. Untuk menyediakan bekal bagi generasi berikutnya. Kadang humas harus berinteraksi dengan media atau para jurnalis dan kadang menjadi media/jurnalis itu sendiri. Kadang menulis dan kadang menelaah tulisan orang. Mendokumentasi, mengarsip, mendownload, mengupload, dan bernegosiasi, adalah sepenggal perjalanan kehidupan seorang staf humas.

Sebait catatan penting bagi sebuah pergerakan. Dalam kacamata Tan Malaka dalam Madilog-nya, ” Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh, kawan, ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut kesepakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang pena, baik dalam propaganda. Maka catatan itu adalah barang yang tidak bisa ketinggalan, seperti smen dan batu tembok buat membikin gdung”

Kompleksnya tuntutan kapabilitas staf humas membuat humas tak mungkin mampu berdiri selain dengan sebuah teamwork. ”Humas adalah teamwork”, begitu kata Tourmalina TN, rekan Humas seangkatan. Dan inti teamwork adalah komunikasi. Dan komunikasi hanya bisa berjalan karena adanya kesamaan/egaliterian.

Stakeholder
Seorang rekan sering kali mengeluhkan, bahwa media seringkali berlaku tidak adil. Aksi hingga berdarah-darah, yang dimuat adalah bentrokannya, kemacetan yang ditimbulkannya, kerusakan yang dihasilkannya, dan bukan esensinya, yaitu menyeret koruptor ke pengadilan. Sehingga, jangankan empati, KAMMI malah panen kecaman.

Karena itu, mengenal karakter Media sebagai salah satu stakeholder utama penting bagi staf humas. Saya cenderung setuju pada pendapat sobat seangkatan Yusuf Maulana (Humas KAMMI Yogya) yang mengatakan bahwa independensi media adalah sebuah utopia, atau bahasa sederhananya : omong-kosong.

Media terikat (dependent) oleh banyak hal. Idealisme jurnalis atau redaktur terpasung oleh banyak hal. Keinginan pemilik modal, ketakutaan atas tekanan politis, teror preman, atau amplop adalah permasalahan klasik di dunia jurnalis. Sehingga, tak perlu berharap banyak pencitraan melalui media.

Media, juga terikat oleh pasar. Tak jarang demi pasar, banyak program acara bermutu dikalahkan oleh minat pasar melalui alat hitung yang bernama rating. Coba simak 100 rating tertinggi dari AC Nielsen pada kurun Desember 2006. Hanya ada 2 acara Berita yang masuk nominasi yaitu Reportase Sore dan Buletin Siang, itupun masing-masing berada di urutan 85 dan 92. 10 ranking teratas dihuni oleh 100 % sinetron.

Jadi, staf Humas mesti memutar otak, karena pencitraan media mempunyai peluang bias. Saluran baru perlu dimasivkan, melalui media internal atau media komunitas (zine) atau memanfaatkan IT melalui website, blog, email, milis, dll.

Stakeholder lain ? akh...terlalu banyak stakeholder. Pikirkan saja stakeholder utamamu yaitu mahasiswa. Itulah iron stock-nya. Cerahkan dan cerdaskan mereka. KAMMI tak boleh tercerabut dari akarnya, karena disinilah KAMMI lahir dan dibesarkan. Melanglang buana jauh namun terlena di kandang sendiri, KAMMI suatu saat akan kaget saat melihat mahasiswa sendiri tidak kenal KAMMI cuma sebatas tahu namanya (just know not recognize).

Apakah tidak berkesan eksklusif ? Sejak dulu mahasiswa itu eksklusif dan elitis. Intelektualitas adalah sesuatu yang eksklusif di negeri ini. Cuma 2% saja dari seluruh penduduk. Yang inklusif adalah materi bahasannya, pokok diskusinya. Yang dinikmati semua lapisan adalah impact dari intelektualitas itu. Jadi, tetaplah eksklusif namun inklusif.

Semarang, 23 Agustus 2007 01.00 p.m

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Friday, August 24, 2007

3 komentar

  1. Anonymous Says:
  2. Good posting! Terima kasih atas kehadirannya di loknas humas di Kaliurang Jogja. **Yusuf Caesar, SC Loknas**

     
  3. Terima kasih juga atas undangannya, dan sambutannya yang luar biasa. Menyenangkan bisa hadir diantara rekan-rekan sedarahperjuangan. Semoga Istiqomah. Kita pantau bareng-bareng para peserta setelahnya.

     
  4. terima kasih tulisannya, cukup menginspirasi. saat ini saya sedang mencari referensi untuk bahan tulisan saya tentang pencitraan organisasi,... jika berkenan mohon komentarnya insya Allah dalam waktu dekat ini akan saya posting.. syukron.. wslkm wr wb

    www.aderafiansyah.co.cc

     

Subscribe here

Better Place For Children