ditulis : Rabu, 3 oktober 2007, 16.00


Sore ini, di lab komputer sambil menunggu posko kebakaran sekolah, akhirnya aku bisa meluangkan waktu, dan yang terpenting, memaksakan diri untuk menulis sekata dua kata untuk mengabadikan sebagian dari sejarah hidup, yang barangkali saja kelak berguna, terutama buat si tokoh utama dalam tulisan ini.

Dua belas hari yang lalu, Jumat (21/9) Allah menganugerahi Abiyyu seorang adik laki-laki, itu juga berarti putra kedua bagiku. Kali ini, bobotnya tidak lagi di bawah standar seperti Abiyyu dulu yang cuma 2,2 kg. Saat ditimbang bu bidan, Erlinda Surya Anis Darsono (beribu terima kasih kuhaturkan atas kerja keras beliau ini), Si bungsu ini bobotnya 3 kg. Dengan bobot segitu, itu berarti si kecil relatif bisa menjaga kehangatan dirinya sendiri alias lebih imun dari ancaman kedinginan.

Namun, perjuangan melahirkan si bungsu kedunia ini, juga sama dramatisnya dengan Abiyyu. HPL-nya sebenarnya justru hari ini (3/10), tapi air ketuban istri sudah pecah hari Jumat (21/9) itu, jam 14.30 sore. kondisi ini persis seperti saat Abiyyu lahir 4,5 tahun dulu. ketubannya pecah dulu. Dengan bantuan tetangga, bu Syaiful dan Pakde Agus, kami meluncur ke rumah bidan di Sumurboto, tempat kandungannya dicek rutin. Bu Bidan menawarkan pilihan untuk operasi caesar mengingat cairan ketuban yang seharusnya membantu proses persalinan sudah tidak ada lagi. Tapi, istri menggeleng, ia ingin mencoba melahirkan dengan normal, walaupun ia tahu konsekuensinya adalah mungkin terasa lebih menyakitkan dan betul-betul mengandalkan kekuatan dorongan ibu, selain barokah Allah tentunya.

Jumat Pukul 14.45, istri di injeksi hormonal, ia dipacu. Azan ashar berkumandang. Aku menggamit Abiyyu, mengajaknya untuk sholat ashar dulu, bersamanya aku ingin membantunya dengan doa. Abiyyu, nampak memahami bahwa ini kondisi darurat, dan sore itu sangat membantu sekali. Ia patuh saja setiap apa yang kukatakan, tidak rewel, dan sepertinya juga ingin segera melihat adik kecilnya lahir.


ditulis : Jumat, 5 oktober 2007, 14.00, masih di lab. komputer

Di Masjid Al-Mu'thasim, bukit duta, dekat rumah sang bidan, seusai sholat ashar berjamaah, Abiyyu memanjatkan doa untuk ibu dan (calon) adiknya. "Ya Allah..., aku ingin lihat adikku...", kata Abiyyu sambil mengangkat tangan mungilnya.

Bergegas kemudian, kami kembali ke rumah bidan. Uups, ternyata proses persalinan telah dimulai. Kami berdua tidak boleh masuk ke dalam, dan cuma bisa duduk menunggu di balik sebidang dinding. Kulirik Abiyyu, di masa kelahirannya aku bahkan membantu bidan memegangi tangan ibunya dan menghiburnya di sela-sela sakit khas melahirkan. Tapi tidak kali ini. Kaos tangan bayi, topi dan jus strawberi yang sempat kami beli seusai sholat tadi tak jadi kuserahkan. Kami harus menunggu.

Dari balik dinding, kami berdua mendengar suara erangan pertanda Kerasnya perjuangan istri. Abiyyu bahkan bertanya ada apa dengan ibu. Ia rupa-rupanya mengkhawatirkan pula kondisi ibunya. Sejenak kuelus kepalanya, dan kugendong ia dipelukan. "Ibu tidak apa-apa, itu adik yang mau keluar dari perut ibu", ujarku menenangkan hatinya.

"Bantu dengan doa ya...!" kata bu bidan dari dalam. Kalimat itu jelas ditujukan kepada kami. Tak lama Abiyyu lalu mengucapkan Al-Fatihah. Surat terbaru yang baru saja bisa selesai dihapalkannya. Abiyyu mengucapkannya dengan keras, Suara Abiyyu itu, dengan logat khas kanak-kanaknya, aku yakin itu pastinya membahagiakan ibunya dan menjadi sumber semangat baginya.

Kutarik nafas panjang. Entahlah, yang jelas aku merasa tak sepanik dan segelisah kelahiran Abiyyu dulu. Meski persalinan sekarang ini, tak melibatkan bantuan orang tua atau mertua seperti persalinan pertama, tapi aku merasa tenang-tenang saja. Bahkan nama buat putra kedua belum kusiapkan dan baru kudapatkan pada hari ke-4 pascakelahirannya. Sementara, Abiyyu dulu, namanya sudah kuputuskan jauh-jauh hari sebelumnya. BUkan karena tak ada masalah, bukan, tapi mungkin karena jiwa sudah menjadi lebih dewasa. Dewasa artinya makin percaya saja sama kehadiran bantuan Allah, khususnya di saat-saat genting. Sementara muda, mungkin masih penuh kekhawatiran terutama bila segalanya berjalan di luar rencana.

16.50, Erangan terkeras dan terakhir, terdengar. "Subhanallah, alhamdulillah...", suara dari dalam itu menguatkan dugaan bahwa si kecil telah lahir. "Adiknya laki-laki," kata bu bidan. Sebait syukur segera saja terucap. Laki-laki lagi. Allah mengabulkan permintaan Abiyyu. Jika ditanya orang-orang, Ia ingin adiknya nanti adalah laki-laki.

Tapi kami belum bisa masuk, didalam aku yakin kondisinya masih berantakan. Seperti dulu, banyak darah bergenangan, dan bukan pemandangan yang baik untuk anak-anak sekecil Abiyyu. Prediksiku tidak salah, Pukul 17.25, ar-ari yang lengket di rahim baru berhasil dikeluarkan. Dan, bu bidan memperlihatkan padaku isi baskom, subhanallah, isinya darah merah. Dengan darah yang dikeluarkan sebanyak itu, aku nyaris tak percaya jika istri mampu bertahan dan tak membutuhkan transfusi darah.

Bleeding atau pendarahan hebat adalah musuh bagi setiap ibu melahirkan, inilah yang membuat seorang ibu menemui syahid jika tak tertangani dengan serius. Namun, disisi lain, tak terhitung banyaknya pula ibu-ibu yang melahirkan dengan proses persalinan
yang mudah. Baik sulit maupun mudah, perjuangan ibu melahirkan anaknya adalah setara dengan jihad, yang pahalanya tak akan pernah bisa tergantikan oleh seorang anak hingga akhir hayatnya.

ditulis : sabtu, 6 Oktober 2007, 09.30

Pukul 17.30, adzan dan iqomah berkumandang di ruang bersalin, itu persembahan bagi si kecil yang baru melihat dunia. Tak lama, adzan dari masjid juga terdengar. Maghrib telah tiba, saatnya berbuka, dan semua nampak lega. Detik itu, sudah kutemukan satu kata nama untuknya, yaitu RAMADHAN.

Kelahiran RAMADHAN diiringi oleh adzan maghrib, ini serupa pula dengan masa kelahiran Abiyyu. Bedanya, Abiyyu diiringi oleh adzan Subuh. Abiyyu masuk ke bidan pukul 9 malam dan lahir pukul 4 dini hari, menjelang subuh. Kedua fenomena ini, kuyakini sebagai barokah Allah, dan semoga menjadikan kedua laki-laki kecil itu nanti termasuk dalam barisan pejuang agamanya.

Dua hari setelah RAMADHAN lahir, lahir pula RAMADHAN kedua. Minggu (23/9) siang, PAk Fauzun, memberi kabar via SMS, bahwa istrinya baru saja menjalani operasi caesar dan alhamdulillah, si bayi lahir dengan selamat begitu pula ibunya. Dari Pati, ayah yang menjadi tetangga rumah, ketua DPRa Meteseh, dan aktif di Yayasan ar-Ridho ini mengungkapkan kegembiraannya karena akhirnya mendapatkan anak laki-laki. Bobot saat lahir 2,2 kg, persis sama dengan bobot Abiyyu dulu.

Kelahiran RAMADHAN kedua ini, makin menyemarakkan keluarga mereka yang sebelumnya sudah memiliki 3 anak, perempuan semua. Beberapa tahun sebelumnya, ia sebenarnya hampir mendapatkan anak laki-laki, namun Allah berkehendak lain, si bayi lahir prematur dan menghembuskan nafas terakhirnya tak lama setelah lahir. Aku sendiri sempat menggendong jasadnya dari rumah sakit ke rumah, sebelum si kecil kemudian dimakamkan.

RAMADHAN pertama, pada hari keempat kelahirannya, kulengkapi namanya menjadi MUHAMMAD RAMADHAN QURROTU A'YUN, sementara RAMADHAN kedua, diberi nama oleh Pak Fauzun MUHAMMAD IKHSAN RAHMAN RAMADHAN.

Ramadhan kali ini terasa begitu membawa berkah. Aku bahkan bisa melihat diriku ada pada sikecil RAMADHAN. Ia lahir pada 9 Ramadhan, sementara aku lahir 29 tahun lalu di ramadhan yang ke-25. Mungkinkah nanti, kami berdua ini memiliki karakter yang sama ataukah justru sangat berbeda ? Yang jelas, di 2 minggu usianya kini, ia tidak banyak menangis. Ia sama dengan kakaknya dulu, banyak diamnya daripada menangis. Tapi, Abiyyu di usianya sekarang, sangat peka dengan bahasa atau ucapan. Seperti apakah nanti karakter RAMADHAN?

Kelahiran RAMADHAN juga diiringi oleh moment besar. Di hari ke-5 usianya, Selasa (25/9), tengah malam, Sekolah Alam Ar-Ridho terbakar hebat. Sekolah tempatku mengajar itu, kehilangan 7 lokal kelas, 4 diantaranya berupa saung, dengan total kerugian sekitar 300 juta. Nyala api dipicu oleh ulah sekolompok anak-anak sekitar sekolah yang bermain api dekat sekolah usai taraweh. Menyangka api sudah padam, mereka pulang dan ternyata api itu yang melalap ludes dua bangunan sekolah. Gotong royong bersama warga, kami mencegah api menyebar ke gedung lain sebelum pemadam datang dan melaksanakan tugasnya. Hingga hari ini penggalangan dana dan kegiatan pemulihan terus dilakukan. Praktis, mulai hari ke-5 itu hingga 3-4 hari setelahnya, aku tak bisa konsen memberi perhatian penuh kepada RAMADHAN.

Sebelum hari itu, karena istri masih belum pulih betul, pekerjaan rumah tangga kuselesaikan. terutama yang menyangkut cucian popok bayi, dan darah-darah khas melahirkan, juga Abiyyu soal mandi dan makannya. Kegiatan pemulihan pascakebakaran di sekolah membuatku harus berbagi konsentrasi, dan kemudian mengandalkan bantuan Mbak Nas, yang kuminta untuk membantu 'membereskan' rumah untuk sementara waktu.

Sekarang ini, Abiyyu kumat manjanya. Melihat ibunya sudah bisa berjalan, ia tak mau lagi dimandikan oelhku, maunya sama ibunya saja. paling memakaikan pakaiannya saja yang ia mau aku lakukan. Agar Abiyyu tak kecewa dan cemburu karena perhatian ibu dan ayahnya berganti pada adiknya, kami melakukan berbagai cara. Kado dan bingkisan yang diberikan sahabat-sahabat (terima kasih banyak atas doa dan dukungannya ), kami serahkan ke Abiyyu, dan ia membukanya dengan senang hati, beberapa bahkan menjadi miliknya. "itu pemberian adik buat kakak", kataku meyakinkan Abiyyu bahwa adiknya baik padanya. Dalam hatiku berharap agar sang kakak juga baik pada adiknya ini.

Ahh..., tapi kadang dalam kesendirianku, aku melihat ke masa jauh hari, setelah anak-anak ini besar nanti, akankah mereka meninggalkan rumah, dan tinggal menyisakan ayah dan ibunya saja di rumah.
Rabb... berilah kami kekuatan dan kemudahan, selalu.

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Monday, October 08, 2007

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children