Setelah doa pagi.
Rumput masih basah karena sisa-sisa gerimis tadi malam.
Kulemparkan pandangan ke sawah yang padinya sudah mulai di panen. Dari lantai dua kelas 8 ini, itulah 'view' favoritku untuk sekian waktu. Sejak ia masih berupa tanah terbajak, ditanami benih, menghijau, menguning, hingga terpanen, aku mengikuti semuanya...pagi demi pagi. Seperti juga halnya pagi ini.

"Apakah kalian tahu mengapa hari ini disebut Hari Pendidikan Nasional" tanyaku pada murid, sambil mataku tak lepas dari sawah di bawah sana. Sengaja aku tak menatap para murid.

"Ki Hajar, pak" seraut suara menjawab. "Ada apa dengan beliau, Ki Hajar Dewantara?" tanyaku lebih lanjut. "Bikin sekolah pak..." suara yang sama menjawab lagi. Kualihkan pandangan, menatap mata si pemilik suara. "Sekolah kayak apa, apa namanya, buat siapa?" , kucecar lagi. Hening... "Lupa, pak..." suaranya lirih menyahut. Gubrak! "Tut Wuri Handayani, pak..." , ia mencoba menawarkan jawaban.

Refleks, ditengah keherananku atas kelupaan itu, aku ingin ....uggghhhh... Tapi, yang terjadi kemudian, aku memilih kembali menerawang kejauhan.

Sambil kuhela nafasku, aku melanjutkan kata, "Beliau sedang menangis sekarang. Dulu, ia berharap dengan sekolah yang didirikannya itu, Taman Siswa namanya, orang Indonesia bisa tercerahkan, nggak bodoh terus di bawah kaki penjajah. Puluhan Tahun setelahnya, setelah merdeka...anak-anak negeri ini rupanya masih suka aja dengan penyakitnya...berkubang dalam kebodohan... berangkat sekolah dengan pikiran kosong, seperti mesin...pagi berangkat sore pulang...begitu terus tiap hari...tapi tak satupun ilmu yang nyangkut..."

"Tapi beliau bukan yang pertama. Salah jika menganggap beliau adalah orang pertama yang mendirikan sekolah. Ratusan tahun sebelum beliau, banyak tokoh-tokoh sudah mendirikan sekolah dalam bentuk madrasah dan pesantren...seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia...hanya, model sekolah Ki Hajar itu yang paling mirip dengan sekolahnya milik penjajah kolonial..." lanjutku.

***


Dalam perjalanan menuju masjid untuk sholat Dhuha, aku teringat pada masa kecilku. Ya, dulu, aku adalah produk model sekolah kolonial yang kemudian ternasionalisasi. Gedung sekolahnya adalah gedung tua, yang penuh dengan kenangan sejarah. Selama aku sekolah disana, tidak cuma sekali dua kali orang 'londo' seliweran di sekolah. Mereka sepertinya bernostalgia, atau entah sedang apa... Dulu aku tak begitu ambil pusing. Meski teman-temanku pada heboh karena ada bule datang ke sekolah, tapi aku termasuk yang cuek bebek sama itu semua. sebodo teiingg....

Dan kini, aku rada ngiri, sama mereka-mereka yang pernah mengenyam pendidikan di model sekolah tradisional khas milik bangsa, yaitu pesantren. Pengalaman berinteraksi dan literatur yang kubaca seumur hidupku kini menunjukkan bahwa sekolah dalam bentuk pesantren, ternyata jauh lebih baik dan istimewa.

Ya, sebab, sekolah biasa itu mengenal jam usai belajar. Tapi, di pesantren, belajarnya 24 jam...tak pernah usai. Jadi, mirip sekali ia dengan hakikat kehidupan sesungguhnya...tak pernah usai dalam 'belajar'...dalam mengurai hikmah.

Hemmm....terlalu banyak 'PR' yang belum terselesaikan jika bicara tentang pendidikan di Indonesia. Mencari definisi sekolah aja butuh diskusi yang panjang... bagi pesantren, mungkin ia seperti sebuah perjuangan meraih pengakuan yang tak kunjung usai...belum lagi, soal guru, soal kurikulum, soal biaya pendidikan, soal metodologi, soal evaluasi, soal kompetensi, soal gelar, soal alternatif....ahhhh...too much...

Sudahlah, di Hari Pendidikan Nasional ini, ditengah carut marutnya kondisi dunia pendidikan, ditengah isak tangis para pahlawan pendidikan dan keguruan... baik yang telah wafat maupun yang masih berjuang, aku ingin menghaturkan terima kasih saja buat para guruku...yang sekarang maupun di masa lalu.

Atas jerih payah mereka, atas pengorbanan mereka, atas keikhlasan mereka berbagi ilmu, aku telah tumbuh menjadi sosok yang sekarang ini. Terima kasih yang terhingga buat guruku sekalian... balasan material tidak akan bisa menyamai segala hal yang telah dikorbankan atau dipersembahkan oleh mereka... Karena itu, menjadi 'orang' seperti yang dulu diharapkan mereka mungkin bisa sedikit membuat awan cerah di wajah mereka. Di depan murid-muridnya, mungkin mereka bisalah sedikit berbangga, atas kerja kerasnya yang membuahkan hasil : muridnya menjadi orang berhasil... 'Berhasil' dengan segala definisinya.

Apresiasi yang setingginya buat Bu Wati, Bu Sugi, Pak Yosef, Pak Sukiman, Pak Kelik, PAk Tego, Bu Yeni, Madame Atik, Pak Pardi, PAk Trisno, Bu Porbo, PAk Anton, Pak KAmil, dan pak-bu guru lainnnya yang pernah mengajar dan mendidikku, dengan cara khasnya masing-masing. Semoga Allah membalasnya kelak di akhirat atas semua yang telah bapak-ibu berikan dan baktikan.

Dan kini, aku kembali menatap wajah-wajah muridku.... ^_^ apa kata mereka kelak terhadapku ya? 1 tahun kedepan, 10 tahun kedepan, 100 tahun kedepan ? Entahlah... aku mengabdi sajalah ...kepada Allah SWT si empunya ilmu... Dzat yang berkata, barang siapa yang berilmu, maka Allah akan menaikkan dirinya menjadi lebih tinggi beberapa derajat. Itu saja...

(note : Aghni...thx untuk lukisan paint-nya "Cinderela di Taman" ya... Oke banget deh gambarnya....^_^)

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Friday, May 02, 2008

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children