Karya : Taufik Ismail
(Catatan : berbahagia rasanya, bisa menulis ulang dan memposting sebuah puisi luar biasa dari penyair luar biasa. Bagiku, Bang Taufik Ismail adalah inspirator terbesar sepanjang masa. Caranya bertutur begitu... akhhhh... subhanallah deh!
Puisi ini juga untuk mengenang perjuangan reformasi kau muda 10 tahun lalu. Reformasi boleh mati muda, namun para reformisnya akan menjadi abadi sepanjang masa....)


Berdiri kita di tebing yang menjulang
Samudera waktu bersama kita pandang
Adalah sejarah yang membayang
Seratus tahun telah membentang
Peristiwa demi peristiwa pergi dan datang
menggelombang


Dalam skala besar dunia berperang dua kali
Dalam ukuran sedang berperang berpuluh kali
Dalam ukuran kecil konflik berlangsung tak terhitung kali
Kolonialisme memuncak
dan kolonialisme berguguran
Bangsa-bangsa tertindas merebut bendera kebebasan
Kita pancangkan Merah Putih itu
dan dia berkibaran

Tampakkah olehmu di bawah sana
Ribuan tiang dengan bendera dua warna berkibaran
Tampakkah olehmu sebentang poster
Sebuah negara baru saja merdeka
Tampakkah olehmu orang-orang yang menakik getah pohonnya
Menguliti dahannya, menumbuk akarnya
meremas ekstrak cairannya
Mengendapi simpul-simpul syaraf nasion
Membuat harmoni dalam komposisi
Merumuskan formula sebuah bangsa
Bertahun-tahun, berpuluh tahun lamanya

Berpuluh tahun kita mencari bentuk demokrasi
yang tepat formatnya bagi kita serta serasi
Tetapi masih juga bablas di sana sini
Berpuluh tahun hukum kita tegakkan agar kukuh berdiri
Tegak dengan lurus berakar ke dalam bumi
Tetapi betapa rumitnya meneguhkan ini

Selesai satu krisis muncul dua krisis lagi
Bencana sedang menimpa timbul bencana kedua
Betapa berat merawat dua ratus juta mulut yang menganga
Sembuh satu penyakit manusia meruyak penyakit hewan lagi
Mereda dua buah ekses timbul tiga ekses menanti
Sesudah gempa, tsunami, banjir air, dan banjir lumpur menjadi-jadi
Beban hutang 1600 trilyun rupiahnya
Terbungkuk bahu kita dibuatnya

Di negeri ini antara halal dan haram tak jelas batasnya lagi
Seperti membedakan warna benang putih dan benang hitam
di hutan kelam
jam satu malam
Kepemilikan tidak dihargai
Undang-undang, peraturan, prosedur diinjak dengan kaki
Tata cara, etika, basa-basi apalagi
Semua harta dan benda di antara bumi dan angkasa dihabisi
Hutan, tambang, bumi, minyak, air, pasir
Bank, bisnis, birokrasi,
Dihabisi

Teringat kita, sebuah bendungan besar terban satu dasawarsa silam
Suaranya gemuruh menderu-deru ke seluruh penjuru
Membawa perubahan politik kenegaraan, berbagai aspeknya
Tetapi bersama jebolnya bendungan itu, ikut terbawa pula
Hanyutnya nilai luhur-luhur luar biasa tinggi harganya
Nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa
Pengorbanan, taggung-jawab, kebersamaan, optimisma,
Keberanian merubah nasib, ketertiban, pengendalian diri,
Penghargaan pada nyawa manusia

Perilaku kita sebagai bangsa mulai berubah
Sedikit-sedikit tersinggung, terancung kepalan, dan marah-marah
Lalu merusak, membakar, dan menumpahkan darah
Berteriak dengan kata-kata sumpah serapah
Hati meradang, suara serak, mata pun merah
Sungguh sirna citra bangsa yang ramah tamah
Kebringasan menggantikan senyum yang habis sudah
Ucapan keji mengganti kosakata yang lembut dan lemah

Dalam sebuah adegan luar biasa kebalauan
Sesudah usai sidang, tegaklah hakim, jaksa, pantera, dan pesakitan
Kemudian ketika yang dirugikan minta keadilan
Orang akan dihadapkan pada bursa penawaran
Penawaran jual beli keputusan pengadilan
Melalui jaringan mafia, calo perantara, dan petugas orang dalam
Sehingga bisa diatur keras lunaknya palu yang diketukan
Karena "h-a-k-i-m, hubungi aku kalau ingin menang"*
begitu diucapkan
demikian dilisankan
demikian dalam kenyataan
demikian dipraktekkan

Demikian kuasanya, tak tersentuh, tandus akal sehat dan nurani
Tiada kontrol, eksklusif tanpa investigasi
Bebas dari pengawasan eksternal, semakin menjadi-jadi
Ratusan triliun bila dirupiahkan, bangsa selama ini rugi

Saudaraku
Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?
Masih adakah?
Dengan lirih ada yang berkata
Mudah-mudahan, berangkali masih ada

Karena di bawah mendung yang berat menggantung
Ada tampak kecil seberkas cahaya
Karena ada bahagian tak tampak dari wajah bangsa
Tak disebut di koran, sosoknya tak tampak di media massa
Yang tetap bekerja keras melakukan tugasnya
Petani-petani di desa yang mensubsidi nasi orang kota
Buruh yang bergaji rendah tapi tetap saja bekerja
Guru-guru yang mengajarkan ilmu dengan setia
Birokrat yang bersihtak sudi diperciki noda
Penegak hukum yang masih rapi nuraninya
Bersahaja semua hidupnya, dalam warna sederhana

Negeri kita disayangi Tuhan adalah karena mereka
Karena doa dari rakyat yang melarat tak tampak wajahnya
Doa orang sakit yang terbaring di pemukiman sederhana
Ditolak rumah sakit karena tak kuat membayarnya
Doa 6 juta anak Indonesia yang ingin bersekolah juga
Doa 15 juta penganggur yang merindukan lapangan krja
Merindukan Indonesia pagi bermandikan cahaya
Ketika orang-orang berkemas pergi bekerja
Ada yang bertandi bercocok tanam
Ada yang berdagang memutar ekonomi
Ada yang mengajarkan menyampaikan ilmu
Ada yang merawat birokrasi menyelenggarakan pemerintahan
Ada yang kukuh menegakkan hukum dan keadilan

Saudaraku,
Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?
Mudah-mudahan masih ada
Ya, memang masih ada
Selepas seratus tahun bilangan masa
Mari kita berhenti menyalah-nyalahkan siapa
Dalam buku harian kita
Mari kita coret kata putus-asa
Dalam kamus bahasa kita
Karena kita akan bangkit bersama
Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa
Dari atas sampai ke bawah
Kerja keras, kerja keras, kerja keras semua
Kemudian berdoa, berdoa, berdoa semua
Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa
semoga Indoneisa kita
Tetap disayangiNya
Selalu dilindungiNya.

(2005, 2007, 2008)
*) TAfsir kepanjangan kata "Hakim" , dikutip dari puisi "Seusai prosesi Pelantikan", antologi puisi Dua Meretas Ilalang, karya H.M. Laica Marzuki (Hakim Konstitusi RI), penerbit Konpress, 2007

**) Foto diambil saat murid-muridku menunggu kedatangan seorang Presiden RI (lebih tepatnya numpang lewat di dekat sekolah)
tahun lalu, Trims untuk Inna Rahma Izzati (Kelas 3 SD) yang udah jujur mengekspresikan kelelahannya menunggu...^_^

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Tuesday, May 20, 2008

1 Responses to Sesudah Seratus Tahun Membentang, 1908-2008

  1. Anonymous Says:
  2. saya kopi di http://hmcahyo.wordpress.com

     

Subscribe here

Better Place For Children