Okta.
Anak satu ini berhasil mencuri perhatianku.
Pertama kali bertemu dengannya. Ia mengulurkan tangannya. Aku reflek menjabatnya.
Pak Budi yang melihatnya, segera berkata,"Okta cewek lho". Gubrak! Pak Budi sudah hafal gayaku. Mestinya tak kujabat dia, cukup menangkupkan kedua tangan di dada. Hehe... tapi 'style' Okta memang unik sih. Rambut pendek dan pake topi bisbol seperti yang ku pake. Jadi, ini cuma soal keterbatasan mata yang tak jeli bekerja.

Uniknya lagi, rupanya sedari tadi, Okta ternyata berdiri di tempat yang sama denganku menunggu. Terpisah cuma 10 meteran gitu lah. Ya, di dekat toko Optik 55 depan Javamall. Aku memang janjian dengan Pak Budi disitu. Kami akan meluncur ke Kendal. Jualan buku...dengan bungkus Diskusi Sastra. hehe... Tapi sebenarnya, janjian mula pertamanya bukan disitu. Melainkan di Pom Bensin Salak.Kedungmundu. Lalu eNtah kenaapa, kemudian aku berganti rencana, malah stand by di depan Javamall.

Tapi, meski sebenarnya dekat, aku tak bisa melihat Okta yang berdiri menunggu. Sebab, ada sebuah mobil merah menutupi pandangan. Btw, kalo dipikir-pikir, lucu juga sih, saat ada sedan Honda hitam, dengan Pak Budi di dalamnya, berhenti dua kali. Mengangkut Okta, lalu maju dikit...dan mengangkut aku. hihi...

Standar anak humas, segera saja, aku mengumpulkan ingatan sebanyak-banyaknya tentang teman baru satu ini. semata, agar ia merasa segera 'comfort'. Meski asing baginya, paling tidak jika aku bisa berbicara satu dua hal yang terdengar akrab ditelinganya, ia akan merasa relatif tidak merasa terasing. Terlebih Pak Budi kemudian memberiku satu kata kunci. Okta terlibat di FTV Hujan di Hati Stephie (HDHS).

NAh, sebuah ingatan berhasil kudapatkan. Okta adalah sosok nyata dari sebuah imagi dalam foto, yang dibidik oleh Pak Budi, dan dimuatnya di Suara Merdeka Minggu beberapa bulan lalu. Beruntung aku masih mengingatnya, karena saat itu, aku mengirim sms ke Pak Budi, memuji, betapa berkarakternya foto itu.

Okta, di FTV HDHS adalah kru kamera. Ia juga awak majalah Gradasi. Gradasi sejauh yang kutahu adalah pemenang lomba Majalah Sekolah Se-Jateng. Mas Subur (Pimred Kompas Semarang), salah satu jurinya, pernah bercerita tentang hal itu kepadaku. Sekarang, kalo tidak salah, Gradasi telah menjadi majalah remaja komersil tanpa subsidi dari sekolah. Selain Okta, dibalik Gradasi juga ada Mas Wiwien Wintarto. Mas Wiwien adalah salah satu awak penting di Geng Kantin Banget.

Jadi, Okta adalah pelajar bertalenta tinggi. Tidak cuma talenta, dia juga punya semangat. Buktinya, ia dengan senang hati menerima ajakan Pak Budi, berkarya, mengabadikan moment hari ini dengan handycam, ntuk kemudian di edit agar menjadi semakin indah ditonton.

Sayangnya, entah kenapa, mungkin sedang memikirkan sesuatu atau gimana... sepanjang perjalanan, Okta tak banyak bicara. Grogi? Malu? atau apa? Diamnya Okta malah sempat digugat Pak Budi, yang biasanya hafal dengan ramenya Okta.

Apalagi kemudian, di depan Kantor SM Pandanaran, mobil berhenti untuk menjemput Mas Rukardi. Rukardi, pinjam data dari Pak Budi, adalah wartawan muda berprestasi, mungkin paling bersinar di SM saat ini. Tulisannya mendapat banyak penghargaan. Beliau kali ini akan memainkan tugas yang pasti disukainya: forografer. Jadi kerasa deh, Okta paling kecil sendiri. Hihi... tapi sebenarnya dari sisi keahlian, Okta patut dibanggakan. So, kenapa mesti malu, ya?

Buatku, ini adalah pertemuan pertama dengan Rukardi. Sudah sering baca tulisannya, tapi belum pernah ketemu orangnya. Sepintas dia mirip BAm Samsons. hehe... Salah satu tulisannya adalah saat ia menulis kolom INSPIRASI SM bulan Juli, mengupas tentang Qaryah Thayyibah khususnya PAk Bahruddin sebagai penggagasnya. Interaksi Rukardi dengan Q-Tha ini, meski sebentar, sudah mampu menjadi jembatan komunikasi, memudahkan silahturahim.

***

Keprofesionalan Okta pada tugas tampak ketika ia setia in action kurang lebih 2,5 jam, mengendalikan kamera, merecord gerak dan ucapan Pak Budi plus aksi Teater Semut di sela acara. Mengamatinya dari jauh melahirkan kesan tersendiri. Ia tampak khusyuk dan menikmati apa yang ia lakukan. Kesungguhannya bersaing dengan Rukardi yang membidik pak Budi dengan kamera tele, dari segala penjuru.

Sebagai orang yang juga suka pegang handycam, aku sangat bisa merasakan, pasti otot lengannya rada pegel-pegel menjaga kamera tetap on sepanjang kurun waktu yang lumayan lama itu. Tapi, ia tampak asik-asik ajah. Sempat juga istirahat sebentar sambil menunggu batere ter-charger kembali, untk kemudian beraksi lagi.

Usai acara, panitia menyediakan makan siang. Kesempatan yang bagus untuk berbincang-bincang sejenak dengannya. Bila Rukardi ngobrol dengan sang moderator, Sawali Tuhusetya, PAk Budi bernostalgia dengan pendiri Teater Semut, PAk Aslam Kussatyo. MAka, aku memilih untuk berbincang dengan Okta. Walaupun sebenarnya, ada pula keinginan untuk ngobrol sana-sini dengan anak-anak Teater Semut yang kelihatan ask-asik orangnya.

Dan, aku mendapatkan banyak hal dari Okta. Ia bercerita tentang sebagian kecil sahaja isi hatinya. Tapi itu sudah cukp buatku, untuk memahaminya, cara berpikirnya juga mungkin mimpi-mimpinya. Suatu hal yang hanya bisa diketahui dengan berdialog dengannya.

Entah, tak tau juga seperti apa kesannya terhadapku, sebab aku tiba-tiba memilih mengambil posisi sebagai orang yang merasa sok tahu (halah!) tentang hakikat belajar. Yup! aku segera disergap rasa nggak terima, jika sosok pelajar sekeren Okta, yang jujur mengaku mendapatkan banyak hal justru di luar bangku sekolah, nanti harus turut pula terpasung dalam penjara bernama UAN dan segenap konco-konco variannya.

Okta mencintai Sinematografi dan juga dunia tulis menulis. Dan ia memiliki impian mengisi masa depannya dengan hal itu. Dia tak hendak berlabuh pada pilihan lain. Cuma satu : Sinematografi.

Dan demi mimpinya itu, Okta telah banyak berkorban... demi sebuah ilmu. Ia telah menghabiskan waktunya untuk bergelut dalam sebuah perpustakaan kehidupan yang bernama pengalaman. Berinteraksi dengan para profesional dan orang-orang yang berdedikasi terhadap ilmu.

Sementara, kebanyakan rekan sebayanya yang lain, (rasa-rasanya) cuma berkutat dari jenis soal satu ke jenis soal lain. Mereka bisa saja unggul diatas kertas, yang pada akhirnya juga akan mendapatkan selembar kertas, bernama ijazah, sebagai imbal jerih payahnya. Tapi, ya...cuma itu. Tidak lebih. Cuma kertas yang berbalas kertas. Tapi, buat pelajar tipe pekerja keras seperti Okta, dia mendapatkan banyak hal. Kertas iya, Kehidupan juga iya.
Dalam bahasaku, ia akan lulus dengan cakap dan bukan lulus dengan gagap.

***

Kami mengantar Okta hingga kerumahnya, dikerumunan pohon duren. Jika saja pohon-pohon duren itu telah berulangkali berbuah, dan beberapa diantaranya telah berusia lebih tua dari Okta, maka aku bisa membayangkan betapa kuat sebenarnya tekad Okta untuk tak mau takluk begitu saja dengan pohon duren. Okta harus berbuah pula.

Dan jika karena itu ia membutuhkan sebuah wadah pembuahan bernama kuliah, agar buahnya matang sempurna, maka ia musti masuk ke dalam wadah itu. Dan siapapun orang dewasa yang ada di dekatnya, mestinya terketuk hatinya membukakan jalan untuk Okta. Sebab siapa sih yang rela mengunduh duren sebelum masanya. Mengapa memilih ijo mentah aatau setengah matang jika ia nanti bisa masak meranum? Bahkan, tak usah capek-capek mengunduh, bila masanya tiba, toh si duren matang bakalan jatuh sendiri ke tanah, memudahkan siapa saja yang ingin memanennya? Dan, Bukankah kesabaran selalu berujung pada kesempurnaan?

Thx 2 Allah, untuk pertemuan ini...
Semoga Ia melindungi Okta di setiap langkah kaki kecilnya...

(thx again to Pak Budi, atas jerih payahnya mengabadikan Okta... Oktaviany Wahyunita.)

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Wednesday, July 30, 2008

3 komentar

  1. budi maryono Says:
  2. Postingan penuh empati dan sangat menyentuh. Kali ini, aku mbrebes mili, Bro!

     
  3. --> pak budi
    iya bro...
    si okta itu emang te o pe be ge te.

     
  4. okta? aku juga mbrebes mili... tapi gara2 kemaren nggak jadi nonton the dark knight sama dia! okta, okta... betewe, ke mana dia ya hari ini?

     

Subscribe here

Better Place For Children