Aku lupa, entah kemarau keberapa,
saat aku datang debu beterbangan menyambutku
coklat daun mawar terselimuti debu menyamarkan bunganya yang tinggal satu itu,
tapi aku ingat, tajamnya matamu adalah mendung yang menjanjikan hujan.
lalu aku datang di kemarau kali kesekian,
tidak ada debu,
tidak ada pula daun mawar apalagi bunganya
yang ada adalah plester semen di seluruh lahan
dimataku semuanya berubah menjadi abu-abu
monokrom kering kerontang!
meski ada kolam kecil sebagai gantinya dan gemericik air dari pancuran,
tapi tetap tak bisa menggantikan
harapan bahwa dari tanah berdebu itu kelak akan ditumbuhi rerumputan saat hujan (pasti) datang.
rumput yang disaat fajar tiba, mempersembahkan embun pagi buat kita
buat kau pandangi, sembari duduk dikursi tua sambil menyeruput susu kedele.
tubuhku semakin terasa mengemarau,
saat kutolehkan keseluruh penjuru
aku tak mampu mengindra kehadiranmu
baumu tak terendus sebagaimana biasanya
aku tak lagi bisa menghidupkan seluruh indera laksana pejantan alfa
yang mampu memindai siapa saja yang masuk dalam radarnya
meski bermil jauhnya.
maka, lirihku...
"hujanlah...!"
basuhi jiwa-jiwa yang kering
kabulkan segenap doa, segenap cinta, dan segenap silahturahim yang nyaris terbakar
kemarau...
(semarang-salatiga, someday when the rain falling down)
saat aku datang debu beterbangan menyambutku
coklat daun mawar terselimuti debu menyamarkan bunganya yang tinggal satu itu,
tapi aku ingat, tajamnya matamu adalah mendung yang menjanjikan hujan.
lalu aku datang di kemarau kali kesekian,
tidak ada debu,
tidak ada pula daun mawar apalagi bunganya
yang ada adalah plester semen di seluruh lahan
dimataku semuanya berubah menjadi abu-abu
monokrom kering kerontang!
meski ada kolam kecil sebagai gantinya dan gemericik air dari pancuran,
tapi tetap tak bisa menggantikan
harapan bahwa dari tanah berdebu itu kelak akan ditumbuhi rerumputan saat hujan (pasti) datang.
rumput yang disaat fajar tiba, mempersembahkan embun pagi buat kita
buat kau pandangi, sembari duduk dikursi tua sambil menyeruput susu kedele.
tubuhku semakin terasa mengemarau,
saat kutolehkan keseluruh penjuru
aku tak mampu mengindra kehadiranmu
baumu tak terendus sebagaimana biasanya
aku tak lagi bisa menghidupkan seluruh indera laksana pejantan alfa
yang mampu memindai siapa saja yang masuk dalam radarnya
meski bermil jauhnya.
maka, lirihku...
"hujanlah...!"
basuhi jiwa-jiwa yang kering
kabulkan segenap doa, segenap cinta, dan segenap silahturahim yang nyaris terbakar
kemarau...
(semarang-salatiga, someday when the rain falling down)
0 komentar