Beberapa hari yang lalu, aku mengikuti sebuah tayangan adu pemikiran di sebuah stasiun TV nasional. Topiknya, Pro dan Kontra RUU APP.

Di layar TV nampak seorang perempuan, Nursyahbani Katjasungkana, dengan berapi-api mengutarakan pemikiran demi pemikiran latar belakang penolakannya terhadap RUU APP. Diseberangnya, Athian Dai, dengan segala karakter ke-ustadz-annya berusaha meng-counter lontaran-lontaran dari lawan bicaranya itu.


Selang beberapa hari kemudian, di TV lokal, secara tak sengaja aku juga melihat dialog yang mengundang dua aktivis perempuan sebagai pembicara. Yang pertama, saya kenal banget karena pernah bareng ngisi sebuah Pelatihan Kepenulisan, yaitu Ibu Humaini. Saat itu, beliau tidak sedang mewakili Desk Wacana harian Suara Merdeka yang diawakinya, tetapi sebagai Ketua Kepodang (Koalisi Perempuan dan Perlindungan Anak). Pembicara kedua, Prof Sri, seorang guru besar IAIN Walisongo. Temanya, tentang Sosialisasi Gender.


Kedua acara bagus itu, menorehkan banyak kesan di kepala saya. Khususnya betapa, masih panjangnya perjuangan pencerahan terhadap the way of life (dien) ini.
Pertama, meski membahas perempuan, bahkan menghadirkan perempuan, penelpon dari pemirsa pada saat moderator membuka forum interaktif acara di TV lokal itu 100%-nya laki-laki ! Artinya simpel, acara bagus kayak gitu tidak diminati kaum perempuan. Bagus, karena para pembicara berusaha memberikan pencerahan seputar hak-hak kaum perempuan.
Tapi, pada kemana kaum perempuan kita ini ?


Sebuah keprihatinan memang, karena acara yang menyita perhatian (sebagian besar) kaum perempuan Indonesia masih seputar infotainment, food/fashion, dan sinetron cinta-cintaan.
Bukannya sinis terhadap acara seperti itu, karena usaha berdakwah melalui acara-acara itu juga sedang dilakukan dan butuh energi khusus. Masalahnya, kebijaksanaan cara pandang dan pemikiran, dapat dengan mudah diperoleh dari seringnya berinteraksi atau mendengar kalimat-kalimat orang soleh dan berilmu. Sementara Infotainment, food/fashion, dan sinetron, butuh energi khusus untuk menarik hikmah darinya. Artinya, itu bukan pekerjaan mudah. Salah-salah, kita malah larut dalam intrik-intriknya dan yang paling buruk, membangun persepsi yang salah di kepala kita.

Karena itu, tidak heran jika dibenak perempuan kita, ada keraguan soal pengesahan RUU APP. Dan menjadi wajar, karena yang sering didengar mereka adalah statement selebritis yang menolak RUU APP. Resistensi selebritis, khususnya yang perempuan, terhadap RUU APP ini sangat digeber di infotainment. Mulai dari alasan ilmiah hingga alasan yang bisa membuat kita geleng-geleng kepala, bahkan mengucap istighfar. Dalam catatanku, ada Olga Lydia salah satunya.


Berikutnya, adanya mispersepsi soal hak perempuan . Banyak kaum perempuan yang ikut-ikutan bersuara miring terhadap RUU APP ini, karena sekedar ikut-ikutan suara aktivis yang sesama perempuan. Pendeknya, karena kesamaan perempuan, lalu para perempuan ikutan tanda tangan menolak RUU APP.


Padahal, kata Asma Nadia, perempuan itu bukanlah homogen. Dunianya warna warni penuh warna, lebih indah dari dunia laki-laki. Intinya, dunia perempuan adalah heterogen. Maka, kaum perempuan, perlu pula menengok Ibu Azimah Subagio Ketua MTP (MAsyarakat Tolak pornografi) yang memilih untuk mendukung pengesahan RUU APP. Atau ibu Inneke Koesherawati yang bilang : Jangan menuhankan seni !


Dalam perspektif ibu Katjasungkana, RUU APP ini memperlakukan perempuan secara tidak adil, tetapi bagi Ibu Azimah, perempuan dapat terlindungi dengan RUU APP ini. Bingung ?

Jika aku perempuan, aku pasti ikut pendapat Ibu Azimah. Perkara ada pasal yang multitafsir dan pasal karet yang berpotensi mengancam perempuan, itu hanyalah permasalahan teknis dan segera dapat diakomodasi. Karena toh, itu hanya pemilihan kosakata, hanya masalah perbendaharaan kata.


Korban Patriarki ?

Salah satu yang didengung-dengungkan para penolak RUU APP adalah perempuan dalam pornografi adalah korban dari sosok yang disebut : patriarki. Jadi, perempuan hanyalah sekedar korban. Pelaku berikutnya adalah Kemiskinan.
Premis ini sungguh membuat dahiku berkerut.

Patriarki ? Makhluk apalagi ini ? Kepala Sekolahku, sekaligus atasanku, adalah seorang perempuan. Leader Komunitasku bernaung, juga perempuan. Dan tak terhitung perempuan-perempuan lain yang tidak saja mengepalai, namun merintis, mencetak sistem, dan menjadi penentu kebijakan di banyak sektor kehidupan. Bahkan di dunia prostitusi, saudara kembar pornografi, juga melibatkan perempuan sebagai mucikari.


Faktor ekonomi? kemiskinan? No way ! Mana ada model pornografi mau disebut miskin. Mereka bahkan sanggup membeli tiket Indonesia-AS pp untuk pemotretan sebuah cover majalah dewasa. Faktor ekonomi bisa saja menjadi pencetus orang tercebur kedalam pornografi dan prostitusi, tapi, itu bukan satu-satunya faktor. Ada kultur konsumerisme dan hedonisme disana, ada juga eksibisionisme. Dan yang paling masuk akal adalah adanya fenomena penurunan standar moral atau demoralisasi.


Jadi, tudingan patriarki atau dominasi laki-laki adalah pelaku sesungguhnya dari pornografi bagiku adalah sebuah apologetis, apalagi jika faktor ekonomi yang dijadikan alasan. Alasan ini sungguh melecehkan perempuan bakul sayur, perempuan penjual gorengan, perempuan warung makan, bahkan petani perempuan, yang masuk kategori 'miskin' namun lebih bisa menjaga auratnya. Ia juga meniadakan kepercayaan kepada figur bapak, figur suami, figur anak laki-laki,ataupun figur eyang kakung.


Yang fair adalah : baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam industri pornografi dan pornoaksi harus menanggung resikonya berhadapan dengan alat-alat hukum karena perbuatannya yang melanggar hukum. Tak bisa diglobalkan begitu saja kepada salah satu genetis kelamin, khususnya laki-laki.
Secara esensial, RUU APP ini sangatlah dibutuhkan. Kalo ada kelemahannya, maka berilah kesempatan para legislator itu bekerja memperbaikinya. Kalo kita bisa kasih usul dan kasih pendapat, itu malah lebih baik lagi. Jadi, simpel sebenarnya permasalahannya. Tapi, kok dibikin rumit ya ?

Bagiku, selama hukum positif itu berasal dari kepala manusia, maka dia tidak akan pernah bisa sempurna. UU dan hukum positif lain, hanyalah sebuah alat bantu untuk menjalankan hukum Allah, di muka bumi.
Dan aku bersyukur, karena pada saat penghujung kedua acara itu, aku masih belum pindah ke channel lain, karena justru disitu pernyataan penting yang patut direnungi.

Ibu Katjasungkana menegaskan meski dirinya tak menyetujui RUU APP, tapi ia sangat anti dengan pornografi dan pornoaksi. Ya, setidaknya ini berarti, yang terjadi hanyalah perbedaan cara pandang/paradigma terhadap material RUU, bukan ideologis. Beberapa pihak, dengan kedok pluralitas, dan ini berarti ideologis, telah pasang badan menyatakan penolakannya terhadap RUU APP.

Mungkin maksudnya menyelamatkan demokrasi dan kebebasan, tapi bagiku itu justru seperti menanam bom waktu di rumah sendiri.
Suatu saat kita akan menuai hasilnya. Jika grafik kenakalan remaja seputar seksualitas bertambah tinggi, begitu juga dengan angka abortus, sex before married, dan yang sejenis dengan itu, maka kita tak perlu kaget dan menyalahkan sana-sini. Toh, kita sendiri kok, yang menyebabkan semua itu terjadi. Kita mungkin bukan pelaku pornografi dan pornoaksi, tapi kita adalah bagian dari orang yang tak melindungi generasi.

Dan Ibu Humaini mengatakan bahwa penyetaraan gender, pemuliaan atau pengarusutamaan perempuan, bukanlah dimaksudkan agar perempuan melebihi laki-laki, tapi agar dunia memandang lebih setara (adil) terhadap perempuan. Aku masih ingat ucapan terakhirnya : Bukan untuk dibedakan walaupun memang berbeda.

Ya, aku juga masih ingat betapa gembiranya Ibu Humaini dan Prof Sri, saat ada pemirsa yang menelpon dan mengatakan bahwa meski dirinya seorang bapak, tetapi dirinyalah yang lebih banyak memandikan si kecil, mencuci baju, masak, dan seabrek pekerjaan domestik lainnya.


Seorang perempuan gembira jika ada laki-laki yang membantunya di pekerjaan domestik. Karena memang, pekerjaan domestik/rumah tangga adalah bukanlah wilayah perempuan semata. Wilayah domestik adalah wilayah dimana perempuan dan laki-laki bersinergi secara proposional di dalamnya dengan cinta sebagai dasarnya. Hadirnya laki-laki dalam pekerjaan domestik, sebenarnya menciptakan kondisi tenang secara psikologis bagi seorang perempuan. Ya, karena itu berarti sebuah : kepedulian !


Yang destruktif adalah saat salah satu diantara keduanya, baik perempuan/laki-laki, benar-benar 'cabut' dari wilayah domestik ini. Karena anak (generasi) jelas akan menjadi korban, dan kualitas keluarga akan menjadi terancam. Pekerjaan maupun pendidikan, bukanlah dalih agar perempuan bisa terbebas dari wilayah domestik. Ini semata-mata hanya sekedar manajemen/pengaturan tugas. Ini juga berlaku bagi bapak/laki-laki.
Yang sebenarnya terjadi adalah, kita berdalih dibalik gender atau berlindung dibalik hak-hak, untuk menutupi ketidakmampuan kita mengasuh/mendidik anak.


Tiba-tiba aku teringat diriku sendiri. How about me ?

Mungkin tidak banyak yang bisa aku kontribusikan buat istri, tapi aku enjoy saja saat mengajak si kecil jalan-jalan pagi lalu antri di 'bakul' sayur bareng ibu-ibu buat beli kentang dan cabe yang akan dimasak hari ini. Juga, enjoy saja saat goreng-goreng telur, nyapu rumah, mandi'in si kecil, dan pake'in bajunya. Tapi, yang aku suka adalah saat aku pulang dan membawa oleh-oleh ke rumah. Ekspresi kegembiraan dari anak dan istri atas kehadiran dan oleh-oleh itu telah menciptakan kesan tersendiri yang tak bisa terwakili oleh apapun.

Dan aku berdoa, semoga Allah selalu menuntun langkahku, menjadi laki-laki yang bisa memuliakan perempuan, seperti yang Rasulullah inginkan. []

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Sunday, March 12, 2006

4 komentar

  1. Anonymous Says:
  2. subhanallah....
    hanya itu yg bisa saya tuliskan disini untuk sebuah tulisan yg menggugah kesadaran.
    tanks pak doni.
    Maju Terus!!!

     
  3. kakbita Says:
  4. subhanallah...
    hanya itu yang saya lantunkan untuk sebuah tulisan yg menggugah kesadaran. terus berjuang pak doni!
    Tetap Semangat!!!

     
  5. Anonymous Says:
  6. by the way,
    tulisan ini mendapat tanggapan yang berjudul "Mengapa Perempuan Menjadi Obyek" , yang dimuat di Suara Merdeka, 24 Maret 2006.

    Betul-betul melelahkan ya...

    Ini Tanggapannya :

    Mengapa Perempuan Jadi Objek

    * Tanggapan atas "Perempuan dalam RUU APP"

    Oleh Hariyadi

    ISU tentang RUU APP (Anti-Pornografi dan Pornoaksi) sepertinya akan terus menjadi kontroversi. Sebab pada kenyataannya rancangan ini justru lebih banyak merugikan perempuan.

    Maka bagi saya sangat menarik me-nanggapi tulisan Doni Riadi berjudul ''Perempuan dalam RUU APP'' (SM, 16 Maret 2006). Doni Riadi menyebutkan perempuan bukanlah homogen. Dunianya warna-warni penuh warna yang kemudian diperkuatnya bahwa dunia perempuan adalah heterogen.

    Menurut saya, justru heterogenitas inilah yang diabaikan oleh RUU. Berbagai pasal diarahkan untuk membatasi keberagaman ekspresi perempuan. Memang tidak secara vulgar, tetapi kalimat-kalimat dalam RUU menggiring semua perempuan harus berperilaku dan berbusana tertentu. Misalnya pasal yang melarang perempuan mengenakan busana yang memperlihatkan sebagian atau seluruh payudara, paha, pinggul, dan lain-lain.

    Pasal ini jelas mengabaikan kenyataan sosial budaya bahwa di sejumlah wilayah penampakan bagian-bagian tubuh yang disebutkan itu bukanlah hal yang aneh. Apabila kita ikut naik di angkutan pedesaan, misalnya, sudah bukan pe-mandangan yang aneh bila ada perempuan menyusui anaknya secara terbuka.

    Tidak perlu jauh-jauh kita menengok rekan-rekan di Bali dan Papua yang sudah menyatakan penolakan terhadap RUU ini. Di Jawa sendiri, masih banyak perempuan pedesaan mengenakan kemben yang memperlihatkan sebagian wilayah dada. Apakah cara berpakaian seperti ini dianggap porno dan pelakunya perlu ditangkap?

    Pengecualian

    Memang dalam RUU APP disebut-kan adanya sejumlah pengecualian dengan landasan tradisi atau keolahragaan. Tetapi dalam istilah hukum, pengecualian tidaklah menghilangkan status. Artinya, berpakaian renang di kolam re-nang atau pakaian kemben, tetaplah dianggap porno meksipun dikecualikan dari penerapan RUU APP.

    Dalam uraian berikutnya, Doni mendukung pendapat Azimah Subagio bahwa RUU melindungi perempuan. Sa-yangnya ia tidak menguraikan, baik ar-gumentasi dari Azimah maupun dari dia sendiri, letak perlindungan terhadap pe-rempuan yang ditawarkan oleh RUU ini.

    Alih-alih melindungi, RUU itu malah memperlakukan perempuan sebagai "penjahat".

    Perundangan lain, KUHP misalnya, selalu menyebutkan ''barang siapa'' dan bukannya ''setiap orang..'' seperti yang ada dalam RUU APP.

    Yang seharusnya dikenai oleh suatu perundangan mestinya bukan orangnya itu sendiri tetapi tindakannya. Dan itu pun dalam konteks publik. Sementara RUU APP langsung mengatur orang dan dalam konteks privat meskipun pengaturan itu katanya untuk melindungi perempuan dari tindak kejahatan.

    Yang menjadi pertanyaan, mengapa perempuan sebagai korban yang justru diatur oleh RUU ini. Mengapa bukan pelaku kejahatan terhadap perempuan? Argumentasi ini sama dengan mengatakan, ''Mengenakan perhiasan di depan banyak orang harus dilarang karena membahayakan diri sendiri.''

    Hal yang sama juga mestinya berlaku pada kasus perilaku tubuh perempuan. Boleh saja kaum laki-laki, entah sebagai suami, kekasih, anak, atau ayah dari perempuan menganjurkan agar perempuan tidak mengenakan pakaian minim. Me-larang pun masih dirasa agak wajar, sepanjang yang melakukan pelarangan anggota keluarga. Namun bagaimana jika yang melarang berpakaian mini adalah UU? Jelas ini intervensi terhadap wilayah privat.

    Apalagi tidak ada perempuan yang bermaksud untuk diperkosa ketika mereka mengenakan pakaian minim. Selain itu bukankah mestinya untuk melindungi tindak perkosaan adalah menerapkan hukuman berat bagi pelaku?

    Selain itu siapakah atau apakah yang menjadi sumber terjadinya pelecehan perempuan? RUU ini berasumsi perempuanlah yang menjadi sumber terjadinya pelecehan itu. Tentu saja orang dengan akal pikiran sehat akan melihat asumsi ini sangatlah absurd. Dengan bahasa sederhana dapat dipertanyakan, ''Yang kotor itu otaknya laki-laki kok yang disalahkan tubuh perempuan?''

    Kemudian Doni berpandangan pasal-pasal yang multitafsir dan karet hanyalah masalah teknis karena merupakan pemilihan kosakata semata. Memang sekilas ini cuma soal tata bahasa namun sebenarnya tidak.

    Undang-undang adalah suatu produk hukum yang merupakan turunan dari suatu gagasan dan mengandung filosofi tertentu. Misalnya saja UU Subversi yang dulu pernah ada memiliki filosofi bahwa negara identik dengan pemerintah dan kritik identik dengan pemberontakan. Selain itu UU tersebut berasumsi warga negara berpotensi menjadi musuh negara sehingga membenarkan tindakan represif terhadap warga yang dianggap membangkang. Demikian pula dengan RUU APP ini.

    Apabila kita baca seutuhnya jelaslah filosofinya adalah : ''Sumber dari kemerosotan moral bangsa adalah tubuh atau aurat perempuan sehingga perempuanlah yang perlu diatur dalam RUU APP.''

    Padahal definisi aurat sendiri relatif berbeda-beda. Kecuali jika tafsir tertentu dari sebagian orang terhadap Islam dipaksakan untuk diterima sebagai satu-satunya definisi tentang apa itu aurat. Selain itu, tubuhlah sarana bagi perempuan untuk mengungkapkan dirinya kepada dunia. Apabila tubuh dikekang sedemikian rupa (apalagi oleh negara), ini sama halnya dengan tidak memberi kesempatan pada perempuan untuk berbicara kepada dunia.

    Doni juga menolak patriarki dan kemiskinan sebagai sumber pornografi. Ia bahkan seperti mengabaikan adanya patriarki dengan menyodorkan sejumlah karaker perempuan yang bertindak mengepalai, mencetak sistem, dan menjadi penentu kebijakan.

    Patriarki pertama-tama, bukan soal individu seperti yang diasumsikan oleh Doni, melainkan suatu sistem. Suatu jejaring kelembagaan, bahkan dapat juga dimetaforakan sebagai ''sejenis cairan'' yang merasuk ke setiap lini kehidupan, tradisi, sistem sosial dan bahkan otak kita. Patriarki inilah yang mendasari munculnya asumsi dalam RUU ini, bahwa untuk mencegah bangkitnya syahwat laki-laki maka aurat perempuan harus ditutup.

    Yang juga terasa problematis penolakan kemiskinan sebagai sumber pornografi.

    Tidak Jelas

    Hal ini tergantung dari apa definisi pornografi. Kalau yang dimaksud adalah gambar-gambar perempuan dalam pose dan busana tertentu, boleh jadi alasan kemiskinan tidak terlalu relevan. Tetapi tidak jarang juga ditemui mereka mau menjadi model di dunia industri pornografi karena kurangnya sumber daya untuk mencari mata pencaharian lain. Namun bagaimana jika yang dimaksud pornografi juga mencakup pelacuran? Salah satu penyebab pelacuran karena faktor ekonomi.

    Kalaupun dalam pandangan Doni, pelacuran tidak termasuk dalam lingkup pornografi dan karenanya kurang relevan untuk dibahas, lagi-lagi di sini kita berbicara soal definisi pornografi dalam RUU APP yang sangat tidak jelas. Kalau yang dimaksud dengan pornografi menyangkut gambar di media cetak dan tayangan di televisi, bukankah sudah ada UU Pers dan UU Penyiaran?

    Maka kehadiran RUU APP terasa semakin membikin masalah menjadi rumit.

    Sementara itu kepedulian laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama mengurusi wilayah domestik agar kualitas keluarga terjaga seperti yang diungkap Doni, memang perlu diutamakan di atas ego dari masing-masing orang.

    Maka seperti dikatakannya, pekerjaan maupun pendidikan, bukanlah dalih agar perempuan (juga laki-laki) bisa bebas dari manajemen domestik. Secara sosiologis, memang dapat kita tangkap betapa pada masa sekarang, dengan tingkat kesibukan yang meninggi, orang tua semakin berkurang perhatiannya kepada anak-anak.

    Dunia modern juga membuat peran agamawan dalam membentengi masyarakat dari kemerosotan moral semakin menurun. Namun bukan berarti kita dapat berdalih di balik kerusakan akhlak bangsa akibat pornografi atau berlindung di balik demoralisasi akibat pornoaksi untuk menutupi ketidakmampuan kita mendidik anak.

    Mandulnya kemampuan kita dalam mengurusi moralitas anak bangsa tidak bisa ditangani dengan membentuk RUU APP. Apalagi dengan filosofi dan asumsi yang merendahkan perempuan, serta pendefinisiannya yang sangat abstrak. Namun menolak RUU APP tidaklah sama dengan menyetujui pornografi dan pornoaksi karena setiap tindakan yang melecehkan harkat dan martabat manusia haruslah dihentikan.

    Alangkah baiknya bila kita meningkatkan kualitas pendidikan sambil menuntut adanya penegakan hukum secara konsisten untuk memberantas perdagangan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.(14)

    (Hariyadi,dosen dan staf Pusat Penelitian Wanita, Lembaga Penelitian Unsoed)

     
  7. Anonymous Says:
  8. Jazakallahu khair atas pencerahannya.
    Kita memang harus selalu mau belajar dan belajar ... serta berubah sesudah dapat pelajaran. Buat semua yang baca (khususnya Hariyadi penulis "Mengapa Perempuan Menjadi Obyek) Mari berlindung kepada Allah SWT dari kesesatan hawa nafsu, kebodohan pikiran, dan kebutaan ego kita. Ridho Allah hanya bisa diraih dengan menjalankan Islam, lihat QS 3:19, 185.

     

Subscribe here

Better Place For Children