(Sebenarnya, berat rasanya untuk menuliskan hal ini. Terlebih jika nanti tulisan ini dipersepsikan berbeda hingga timbul pro dan kontra yang menyita energi. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini, tidak untuk mendiskreditkan seseorang atau kalangan tertentu. Melainkan sebuah otokritik, yang berangkat dari kecintaan dan kepedulian terhadap dunia tumbuh kembang anak-anak, generasi penerus kita nanti.)

Ramadhan dan lebaran, bagi dunia penyiaran, khususnya televisi berarti saatnya unjuk gigi. Beragam acara dirancang dan digelar semenarik mungkin agar pemirsa betah berlama-lama menyaksikannya dan tidak beralih ke saluran TV yang lain. Dalam kaca mata marketing, perhatian pemirsa adalah rating dan rating berarti iklan. Maka, di bulan ramadhan, stasiun-stasiun TV banyak mendapatkan keuntungan : pendapatan iklan dan imaji positif.

Salah satu tayangan berkategori menarik adalah Pemilihan Da’i Cilik (Pildacil) di Lativi. Ramadhan tahun lalu, acara ini mendapatkan penghargaan MUI Award untuk kategori Siaran Anak dan Remaja.

Agustus 2006 lalu, adalah grand final Pildacil 4. Itu berarti, acara ini mendapatkan apresiasi postif dari masyarakat, tidak saja orang tua, tetapi juga anak-anak. Dan jika dihitung seksama, Pildacil telah mengenalkan sedikitnya 70 dai cilik ke publik. Di bulan Ramadhan ini, 16 dai cilik terbaik dari ke-4 episodenya dapat kita simak di episode yang diberi judul Pildacil Best of the Best.

Nilai Positif

Pildacil memang sarat nilai positif. Terkadang, sepatah dua patah kata anak-anak itu mampu menusuk hati, memberi kesejukan, dan membasuh jiwa-jiwa yang kering dari manusia dewasa. Pildacil, juga telah membangun inspirasi dan motivasi para orang tua untuk lebih ‘serius’ mendidik anak-anaknya.

Bagi anak, Pildacil adalah ajang untuk melatih keberanian dan keterampilan berbicara di depan khalayak juga di hadapan kamera. Ini, bukanlah perkara gampang. Terlebih, substansi pembicaraan adalah kalimat thoyib (baik), yang isinya menyeru manusia untuk berbuat ma’ruf. Kegiatan menyeru pada kebaikan (bil lisan) inilah yang membuat anak-anak mendapat sebutan da’i. Sebutan da’i ini akan menjadi makin sempurna jika kemudian anak-anak itu juga menyeru dalam bentuk akhlak (bil hal) yang baik dalam kehidupan kesehariannya.

Anak juga terpacu untuk menghafal dan mempelajari Al-Quran, hadist dan doa. Dalam beberapa tampilan, anak-anak juga mampu melantunkan beberapa bait syair, nasyid, bahkan pantun.

Pendeknya, di tengah minimnya tayangan anak-anak yang bermutu dan bernuansa Islami, maka kehadiran Pildacil cukup menggembirakan hati. Tak heran, banyak orang tua yang mengirimkan feedback agar Lativi tetap mempertahankan acara tersebut.

Otokritik

Substansi atau tujuan dakwah layar kaca memang patut diapresiasi, namun acapkali metode yang digunakan tak selalu selaras dengan kemuliaan substansi. Karena metode yang tak sinkron dengan substansi inilah, sebagian pengamat kritis dalam perdebatan di milis dan diskusi online menilai skeptis dakwah layar kaca. Alasannya, karena Islam yang semula adalah ‘tuntunan’ telah terdegradasi menjadi sekedar ‘tontonan’ atau bahkan ‘komoditas hiburan’ sekedar untuk meraup keuntungan melalui iklan dan pulsa SMS.

Dalam konteks Pildacil, beberapa metode dan efek samping memang perlu dikritisi. Ini dalam rangka memperkecil kelemahan dan memperbesar kemanfaatan. Kekhususan cara pandang diperlukan disini mengingat bahwa subyek utamanya adalah anak-anak.

Pertama, bahwa kefitrahan anak-anak bukanlah untuk dieksploitasi. Inilah prinsip dasar pelibatan anak-anak dalam dunia entertainment. Jika kita telusuri, niatan awal digelarnya Pildacil lebih sarat dengan motif ekonomi ketimbang motif religi. Dalam sebuah majalah (Gatra, Okt 2005), Produser Pildacil, Malikye P. Bilondatu mengatakan bahwa "Pildacil" nongol dari ngintip suksesnya acara "Da'i TPI". "Kami ambil celahnya," ujarnya. Pilihan jatuh pada anak-anak. Mengapa? "Anak-anak pasti ada keluguan dan sifat kekanak-kanakan. Itu daya tariknya," ujarnya.

Harus kita akui, format kontes Pildacil dan Audisi Da’i adalah varians dan bukan pencipta trend, dari kontes-kontes adu bakat khususnya menyanyi yang lebih dulu marak dan mendatangkan keuntungan besar bagi stasiun televisi.

Karena bermotif ekonomi, maka modifikasi dari kontes western minded ini menyisakan persoalan, terutama soal penggunaan SMS sebagai penentu kemenangan. Bila kita merujuk pada fatwa terbaru MUI yang memasukkan beberapa metode kuis undian SMS di TV sebagai judi, maka dengan berat hati kita katakan bahwa pola SMS Pildacil hingga saat ini masih masuk kategori judi. Ini, berbeda dengan Audisi Da’i dewasa TPI yang menghibahkan pemasukan dari SMS untuk kegiatan amal. Tak tertutup kemungkinan, orang mengirim SMS bukan hendak memberi dukungan tapi berharap mendapat hadiah yang dijanjikan.

Kedua, rasio penentu kemenangan antara SMS dengan penilaian juri pun masih terlalu jauh. Menurut Eddy Abdullah, ayahanda Ilham Binar Lazuardi (finalis Pildacil dari Semarang), nilai dari juri hanya 30 % sementara SMS 70 %. Bandingkan dengan Audisi Da’i dewasa yang menjadikan penilaian asatidz (para ustadz) 80 % sebagai penentu kemenangan.

Akibatnya, makna kemenangan atau keunggulan menjadi bias dan tidak obyektif. Bila kita cermat, maka kita akan melihat melalui papan point digital, bahwa juri Pildacil Best of The Best kali ini, banyak memberikan akumulasi nilai yang sama atau terpaut sedikit pada para finalis. Sebab, para juri melihat bahwa kualitas dan keistimewaan anak-anak itu memang relatif tidak jauh berbeda. Namun, mengapa perolehan jumlah dukungan SMS-nya bisa terpaut jauh?

Di sinilah letak penyebab biasnya makna keunggulan. Kultur khas Indonesia menyebabkan seseorang mengirim SMS dukungan semata-mata karena kesamaan geografis, kekerabatan, historis, ikatan emosional, dan sebab-sebab lainya yang sebenarnya di luar konteks kompetisi. Sedikit saja orang yang mengirim SMS dukungan karena betul-betul melihat dari kacamata obyektif, mampu menemukan faktor keunggulan seorang finalis dengan finalis lainnya, seperti : penguasaan dalil, makhrojil huruf, substansi materi, ketinggian bahasa, hafalan Quran, ibadah harian, dan kemampuan komunikasinya..

Ketiga, mereka dikarantina berhari-hari sementara teman sebayanya belajar di sekolah. Bukan masalah pada materi pelajaran yang tertinggal, karena ketertinggalan materi selalu dapat dikejar dengan cara membuat resume, fotokopi, dan sebagainya. Akan tetapi pada pengalaman belajar yang tak ia dapatkan. Pengalaman belajar ini penting karena inilah yang kelak menjadikannya sosok pembelajar sepanjang hayat.

Keempat, belum lagi, usaha untuk memulihkan kondisi psikologinya, saat ia mendapati fakta bahwa dirinya dinyatakan kalah karena SMS-nya tak mencukupi. Padahal untuk urusan menyeru (da’iyah), tidak pernah ada istilah kalah atau tereliminasi. Kekalahan yang sesungguhnya justru saat anak-anak itu minder dan ngambek tidak mau lagi menyeru.

Kelima, tema dari panitia yang terlalu berat bagi anak-anak, adalah permasalahan tersendiri. Sesungguhnya, tema hubungan suami-istri, juga korupsi, adalah tema yang asing dalam dunia bersih anak-anak. Mereka mungkin bisa mengatakannya tetapi tak cukup mengerti maknanya. Artinya, kita telah menjejali anak-anak persoalan hidup khas dunia dewasa, yang belum sesuai dengan perkembangan jiwanya.

Keenam, rentang usia peserta yang terlalu jauh, juga menyulitkan pemberian nilai yang valid. Ada finalis yang baru kelas 2 SD harus berkompetisi dengan finalis yang sudah SMP. Pemirsa mungkin terharu akan keluguan si kecil namun juga mengacungkan jempol untuk runtutnya logika si remaja. Pasti sulit untuk mengukur siapa yang lebih unggul diantara keduanya.

Ketujuh, perlakuan yang keliru dari orang tua atau pendamping dapat membahayakan perkembangan anak-anak. Saat cameraman iseng menyorot secara close up mimik bibir para pembimbing di barisan penonton yang menirukan kata demi kata persis seperti yang dilafalkan sang dai cilik, maka itu adalah pertanda buruk. Bila orang tua begitu dominan mendikte, mendoktrin, dan menciptakan stereotip, termasuk menentukan gaya, hafalan ucapan kalimat demi kalimat dari salam pembuka hingga salam penutup, maka potensi asli anak-anak yang serba kreatif lambat laun akan menjadi sirna. Ia akan terbiasa menerima perintah bukan pemberi perintah. Ia akan selalu menungu kreasi dan bukan mencipta kreasi. Meski kelak ia tampil sebagai pemenang kontes maka sesungguhnya ia sedang mengalami kekalahan telak.

Kedelapan, kagum dan salut terhadap penampilan para da’i cilik adalah boleh-boleh saja. Tetapi para orang tua hendaknya tidak obsesif untuk menjadikan anaknya seperti yang ia kagumi dan saluti. Sebab, Alah menciptakan setiap anak dengan kekhasan dan keunikannya sendiri. Orang tua yang bijak akan kagum pada anak-anaknya sendiri, dengan bakat dan keistimewaan yang tersendiri.

Kesembilan, finalis Pildacil adalah anak-anak Indonesia yang mendapatkan anugerah kecerdasan linguistik (Word Smart) yang tinggi. Ilham, Awa, Ubaid, Ali Musa, Nadia, Bella, Rajib, Eno adalah segelintir finalis yang sejak dini, bahkan sebelum tampil di Pildacil, memang sudah sering tampil di muka publik, baik puisisasi, pidato maupun ceramah di daerahnya masing-masing.

Kesibukan anak-anak ini dalam memenuhi undangan berceramah pun punya konsekuensi tersendiri. Ia harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu kesehatan fisiknya yang masih lemah, dan yang terpenting agar tidak mencerabut keindahan masa kanak-kanaknya. Rasululllah sepanjang hidupnya mencurahkan : kasih sayang, keceriaan, kelembutan, mainan, dan perlindungan pada anak-anak dan menjauhkan darinya kesedihan, kelelahan, ancaman, dan kesendirian.

Masih banyak anak-anak Indonesia lain yang juga jago dalam seni musik, perupa, olahraga, programmer, penulis, maupun sains dan logika, yang juga perlu kita kagumi. Agar tidak salah persepsi, maka tepatlah bunda Neno Warisman, salah seorang juri, mengatakan bahwa setiap anak itu bintang. Setelah besar, mereka tidak harus menjadi da’i penceramah. Karena peran da’i akan dapat dimainkan di seluruh ranah kehidupan : musikus yang da’i, artis yang da’i, insinyur yang da’i. Pendeknya peran da’i dapat melekat pada profesi apapun.

Dakwah di layar kaca adalah sebuah kesemestian. Namun hakikat dakwah tak bisa dikonteskan, dalam arti dikemas agar mengandung efek hiburan (yang semu), karena musuh yang dihadapinya adalah kemiskinan dan kebodohan. Dakwah yang menghibur secara abadi, adalah saat dakwah mampu merubah kemiskinan menjadi sejahtera dan kebodohan menjadi tercerahkan. Dan ini, tidak akan cukup dengan menjadi pemenang dalam sebuah kontes. Ia hanya bisa dilakukan dalam pergulatan kehidupan nyata secara sistematis dan kontinyu. []

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Thursday, November 09, 2006

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children