[Tulisan ke-3 dari 4 tulisan]

Sabtu (12/04/08), ba'da ashar


I'm here. Berada di tengah-tengah mereka. Sekarang, saatnya melakukan tugas utama. Perjalanan setengah hari barusan takkan mungkin tertempuhkan jika bukan karena tugas utama ini. Yaitu, sharing pada anak-anak muda muslim Purwokerto, tentang betapa dinamisnya dunia kehumasan. Yup! Lebih tepatnya sharing. Sebab, untuk menjadi narasumber profesional, aku tak mencukupi kapabilitas itu. Aku bukan staf humas atau Public Relations Officer dari instansi manapun. Cuma 'kebetulan' aja dulu (dan sekarang, beraktivitas dalam kegiatan jurnalistik dan 'nyerempet' kehumasan).

Hihi... ^_^ dulu masih inget, waktu pertama kali berkenalan dengan dunia PR. Ada seorang peserta (yang kemudian kelak memberi pengaruh besar pada jalan hidupku), yang mengkritik adanya kekurangan huruf "S" pada backdrop Pelatihan PR yang ku moderatori. Mestinya, Public Relations bukan Public Relation. "Kurang S", katanya. Kritik yang sangat menarik. Mungkin terlihat sepele. Tapi bagiku itu sangat dalam maknanya. Itulah jiwa humas yang sesungguhnya. Yaitu : perhatian pada detail atawa seksama dalam menyimak alias tidak menyepelekan sesuatu. Itu... 9 tahun lalu. Hemm... pertemuan pertama yang begitu mengesankan.

Term of Referrence (TOR) dari UChi-ha, isinya ada 4 : (1) Cita, Citra, dan Propaganda, (2) Analisis SWOT Organisasi (KAMMI), (3) Strategi Membangun Citra, dan (4) Manajemen Isu. Beban materi yang cukup padat, terlebih dengan ketersediaan waktu yang cuma 2 jam pertemuan. Kemarin waktu menyusun materi, point no. 2 ini paling kusedikitkan, sebab sekarang ini aku telah menjadi seorang 'outsider'. Sudah bukan anggota aktif. Sudah purna. Jadi tak mungkin valid dalam menganalisis. Analisis SWOT bukan ranahku. Itu mestinya kerjaan Litbang. Jadi, aku singgung sedikit aja. Yaitu pada seputar penemuan 'nilai beda' atau differensiasi-nya sebuah organisasi. 'Nilai beda'-lah yang di dunia humas, bisa dijadikan bahan utama untuk di citrakan.

Sebelumnya, di dalam taxi tadi, Frosh juga memberitahuku jumlah peserta yang fix hadir. Separoh dari targetnya yang 50 orang. Tidak semua KAMMI-ers, ada juga anak-anak Lembaga Dakwah Kampus (LDK) alias Rohis. Tapi semuanya, pegang amanah di Humas. Dan, rata-rata angkatan 2005-2007. Jadi,tidak terlalu pemula tapi juga tidak terlalu pakar.

Yang ada di kepalaku sebenarnya bukan pada soal jumlah. Sedikit atau banyak, the show must go on. Banyak lebih baik, sedikit juga lebih optimal. Tapi pada hal lain. Setiap kali 'mengisi' sebuah pelatihan, sebenarnya aku seperti menjadi seorang petani pada masa tanam. Sebuah pertanyaan yang menggelayut. Adakah benih yang kutanam nanti kelak menghasilkan tanaman yang berbuah. Pertanyaan yang sulit, sebab aku tak turut memberinya pupuk. Cuma menanam benih saja. Pupuknya adalah berwujud latihan (practise). Sementara benih cuma sebuah pelecutan kesadaran. Benih akan menjadi mati jika pupuknya, berlatih dalam keseharian itu, tak dilakukan. Dan, sia-sialah aktivitas menanam itu.

E, Nggak ding... mana ada aktivitas mulia yang sia-sia. Walau bagaimanapun, setidaknya, pada sessi mengunyah ilmu itu, malaikat sudah mengirimkan sholawatnya ke langit...seperti yang dijanjikan Rasulullah kepada hambanya yang tholabul 'ilmi bi isnillah.

***

Sedikit bergetar sepertinya, saat membuka sessi itu dengan menyampaikan salam dan sholawat kepada baginda Rasulullah, beserta keluarga dan seluruh sahabat, termasuk Khalifah Ali dan Adinda Fatimah ra. Ketiganya wafat dalam kesederhanaan dan kebersahajaan, walau bisa dipastikan, selama umur dunia masih ada, maka masih akan pula nama mereka disebut-sebut dalam goresan tinta emas. Sebuah jejak hidup yang betul-betul menginspirasikan.

"Tariklah nafas dalam-dalam...a deep breath...ambil kekuatan dari udara raya, dan saat kita menghembuskannya buang pula segala gundah", kataku mengawali. "Sebuah pelatihan cuma bisa bermakna saat kita bisa menghadirkan jiwa tak cuma raganya. Saat cuma raga, yang diwakili oleh oleh telinga dan akal, maka percayalah, tak sampai keluar dari pintu gedung ini, semua hal yang tersampaikan bakalan lenyap mengangkasa. Namun, jika jiwa ikut serta, sepanjang hayatpun ia tak akan terlupa...menjadi barokah...membawa kemanfaatan" kataku lebih jauh.

Peserta tersenyum. ^_^ That's it. Itu pertanda lampu hijau telah menyala. Mereka telah 'sadar' bahwa ada seseorang di depan mereka, yang mencoba membuka komunikasi dengan mereka, dengan bahasa hati. Dan dalam bahasa hati, sejumput nama tidaklah penting. Jadi, aku melanjutkannya masih dalam nuansa ketidakkenalan. Aku tidak memberikan namaku. Mereka masih tidak tahu dan tidak kenal siapa pembicaranya. Tapi, mereka telah lumayan 'terusik' dan memberiku sesuatu yang disebut "atensi".

Kupikir, akan berbeda halnya jika aku seorang Kang Abik. Tanpa berkata-kata pun orang sudah mahfum dan bersegera memberikan atensinya. Tapi, buat seorang ordinary people... like me... maka kita mesti sedikit 'ekstra' kreatif untuk mencuri atensi.

Slide pertama ditampilkan. Mereka menahan senyum. Berjuta kesan pasti. Ya! Soalnya yang kutampilkan adalah sesosok berjilbab dengan sayap di punggungnya. Sosok itu setengah menunduk. Warna dominan hitam pada latarnya menghasilkan sebuah kesan kuat, keheningan...

"Lihatlah dengan dua mata. Mata-mata dan mata-hati." ujarku pelan. Aku melanjutkan lagi, "Dan dalam satu durasi lagu (instrumen), 5 menitan berarti, cobalah menuliskan sebuah kalimat singkat, berangkat dari kesan atau citra yang terpancar dari slide itu dan yang bisa kau tangkap. Dan , aku akan memilih satu tulisan terbaik yang nantinya akan diketikkan di bagian kosong, di sebelah kiri foto itu. Jadi, kita seperti menulis sebait puisi gitu lah...

Sejenak kemudian, mereka larut dalam keheningan, konsentrasi berbicara dengan hatinya sendiri-sendiri. "Insyaallah kalian bisa. Humas kan? Mengungkapkan sesuatu...dalam hal ini berbentuk tulisan, dalam kondisi dibawah tekanan atau deadline seperti ini, bakalan kita sering alami. ", kataku menyemangati.

Satu persatu, peserta mengumpulkan tulisannya. Dan, aku tersenyum ^_^, luar biasa, semua tulisan yang masuk adalah tulisan yang bercitra positif. Sekali pandang, tak kenal sebelumnya dengan sosok tersebut, tapi langsung bisa memberikan sebah koment positif. Beberapa bahkan ada yang nampak begitu terinspirasi, dan menjadikannya sebagai titik balik.
Beberapa lagi, nampak khas ikhwan (laki-laki) banget. Nampak jelas spirit posesif dan penuh mimpi dari tulisannya itu dan hehe...ada juga yang 'ngegombal', dengan menyebutnya sebagai bidadari.

Untuk yang terakhir ini, aku sama sekali tidak mengutuknya, justru sebaliknya... sangat-sangat bisa memahaminya. "Tidak apa-apa...ente ingin bertemu dengan bidadari surga? bagus banget...Al-Quran kan juga sudah menjanjikannya. Tapi untuk bisa dapet itu... ente mesti... syahid dulu! ^_^" Gerrr... para ikhwan mengulum tawa. Yup! why not? Ayo kita cita-citakan bersama...mati dalam kesyahidan!

Kalimat terbaik dari peserta akhirnya kupilih yang menulis ini: “ Sebuah renungan hati... Ya, Allah di malam yang hanya ada hamparan langit beribu bintang ini, kuadukan semua masalahku, hatiku menunduk bila berbicara dengan-Mu....”

Dari situ, sebenarnya yang hendak kukatakan adalah. Itulah esensi humas. HUmas, dengan seabrek pernak-perniknya, sebenarnya tujuannya sederhana, yaitu menciptakan sebuah kepemahaman (understanding). Humas=understanding=kepemahaman=tafahum=empati.

Nah, jika foto di atas tadi, dalam waktu singkat telah menanamkan empati begitu dalam, dan kita jadi 'understanding' terhadapnya. Maka, kita tinggal mengganti saja sosok di foto itu dengan logo organisasi kita. Jadi, di sini pertanyaan kuncinya. Apa kesan atau citra yang terbentuk setelah 'melihat' logo organisasi kita itu? Masihkah positif ? atau justru sebuah helaan nafas panjang? atau sebuah kata singkat : "Capek deuhhh..." ^_^ Think about it!

Sampai di sini, selain esensi humas, sebenarnya ada tujuan lain yang juga tercapai, yaitu mengenal para peserta. Karakter diri para peserta telah terlihat jelas. " Dengan tulisan yang kalian buat ini, aku langsung tahu seperti apa karakter dari masing-masing kalian. Sebab, tulisan itu mewakili diri. Aku telah mengenal kalian, dalam waktu singkat, dan hehe... sementara kalian sampai saat ini belum juga mengenalku. Gotcha! 1-0 ya..." kataku sambil tersenyum.

Itu brainstorming pertama. Yakin, setelah itu, pesera kemudian larut dalam pikiran mereka sendiri-sendiri. Nah, Inilah kesempatan besar buat menghujani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan sulit nan retoris. Karena mereka KAMMI-ers, aku menanyakan banyak hal pada mereka tentang KAMMI. Siapa tuh KAMMI? Untuk Apa dia ada? Mengapa begitu ? Bagaimana cara yang digunakan ? Dimana posisimu berada? Apa yang dibutuhkan KAMMI darimu? Apa yang sudah kau berikan untuknya?

Saat peserta masih sibuk dalam pikiran mereka. Firdaus, anak humas KAMMI Daerah Purwokerto yang bantuin jadi operator laptop, menampilkan videoclip hasil interview mereka dengan beberapa orang. Bagaimana pendapat anda tentang KAMMI? Itu pertanyaan pokoknya. Dan peserta kemudian mencermati bagaimana seorang wartawan memberikan jawaban, juga pedagang nasi kucing, mahasiswa apolitis, dan juga mahasiswa aktivis.

Hemm... beragam pendapat. Bagi orang-orang yang melek info, KAMMI menjadi tak asing baginya. Tapi bagi pedagang nasi kucing...hihi...nggak tahu sama sekali. Artinya, KAMMI masih harus bekerja keras mengakrabkan diri pada segmen-segmen rakyat jelata. Dan, masih panjang lagi analisisnya. Bagusnya, dia dibuat sessi tersendiri. Nggak cukup waktunya kalo di sessi ini.

Tapi, satu hal. Dari hasil kerja keras anak-anak humas Purwokerto ini, sebenarnya telah terlihat cara bekerja seorang humas. Disinilah peran spesifik staf Humas. Yaitu : Untuk mengabadikan perjuangan. Untuk menyediakan bekal bagi generasi berikutnya. Kadang humas harus berinteraksi dengan media atau para jurnalis dan kadang menjadi media/jurnalis itu sendiri. Kadang menulis dan kadang menelaah tulisan orang. Mendokumentasi, mengarsip, mendownload, mengupload, dan bernegosiasi, adalah sepenggal perjalanan kehidupan seorang staf humas.

Jadi, humas itu keywordsnya jelas : ada kata atau tulisan, ada foto dan imaji, ada video atau gambar bergerak, juga ada bicara atau public speaking, dan satu hal lagi, ada kekuatan berempatik. MAka, jikalau untuk melakukan semua itu diperlukan energi khusus untuk menguasai tools-nya dan perangkat lunaknya, atau yang disebut dengan skill, maka wajiblah pula skill itu dipelajari. Dan di sessi ini, alhamdulillah, semuanya telah ditunjukkan.

Kompleksnya tuntutan kapabilitas staf humas membuat humas tak mungkin mampu berdiri selain dengan sebuah teamwork. ”Humas adalah teamwork”. Beberapa orang dengan keahliannya dibidang masing-masing yang saling bersatu padu, akan melahirkan humas yang tangguh. Sungguh, sangat jarang ditemui, ada sosok humas yang peka secara hati, pandai dalam menulis, ahli pula dalam menyampaikan idenya secara lisan, dan jago pula dalam fotografi, video atau sinematografi plus akrab pula dengan dunia softwarenya seperti foto dan video editing. Apalagi ditambah pula dengan keakrabannya dengan dunia cyber/internet atau teknologiu komunikasi lainnya.

Namun, teamwork juga membutuhkan satu hal yang tak sederhana, yaitu : komunikasi. Sementara komunikasi hanya bisa berjalan karena adanya kesamaan /egaliterian. Kesamaan visi-misi, kesamaan 'voltase'. Jadi yach...sebelum total fight 'keluar' mencitrakan organisasinya sebaiknya tim humas menyolidkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

Dan, satu hal yang penting bagi organisasi kemahasiswaan seperti KAMMI (atau Rohis), tugas mencitra sejatinya tidak hanya berada di pundak tim humas, akan tetapi di setiap kader organisasi yang bersangkutan. Sebab, Citra utama KAMMI terbentuk dari : aksi yang ditujukannya, sikap yang dinyatakannya, pihak yang dilawannya, kasus yang dilibatinya, referensi yang dibacanya, tokoh yang diidolakannya, atau apa sebenarnya tujuan yang hendak dicapainya. ’Cita rasa’ inilah yang menjadi Citra KAMMI. Sementara Press Release yang dibuat atau hubungan ke wartawan hanyalah ekses atau konsekuensi logis dari keluarnya sebuah kebijakan, yang harus disebarkan segera.

Humas sebuah organisasi kemahasiswaan memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dari sebuah organisasi profit (bisnis). JIka pada organisasi profit, berhasil tidaknya sebuah humas bisa dilihat dari grafik jumlah produk yang terjual. Makin laris maka makin sukses ia.

Tapi, di organisasi kemahasiswaan, yang 'dijual' adalah sesuatu yang sifatnya abstrak. Jadi , agak sulit terukur. Apalagi, dengan masa tugas yang terbatas, kaerna bisa jadi, tujuan itu baru tercapai di generasi sekian dari sebuah organisasi. Tapi paling tidak, kita telah menemukan pokok krusial kerja humas. Masalah krusialnya adalah, bagaimana kita meyakinkan orang bahwa ideologi kita, pemikiran kita, wacana gerakan sosial kita, dan segala sesuatu yang sifatnya abstrak itu, bisa diterima atau paling tidak dimengerti (understanding) oleh khalayak.

Namun, jangan pernah lupa, bahwa sejauh apapun kaki melangkah, sebaiknya KAMMI tetap aware pada iron stocknya, yaitu kekuatan mahasiswa. Cerahkan dan cerdaskan mahasiswa di sekitarnya. Ia tak boleh tercerabut dari akarnya, karena disinilah KAMMI lahir dan dibesarkan. Paling tidak, teman-teman sekelas atau seangkatan mengerti apa yang membuat si fulan yang aktifis KAMMI hari ini membolos kuliah (jika harus membolos). Melanglang buana jauh namun terlena di kandang sendiri, KAMMI suatu saat akan kaget saat melihat mahasiswa sendiri tidak kenal KAMMI cuma sebatas tahu namanya. Apalagi jika yang terjadi kemudian, hingga KAMMI identik dengan kendaraan politik sebuah partai. KAMMI, sebagaimana halnya organisasi mahsiswa lain, sampai kapanpun mestinya tetap pada ranahnya, yaitu berjuang di dunia politik moral.

Intinya, untuk merangkul itu semua, strategi pencitraan yang bisa dilakukan humas sebenarnya tak rumit-rumit amat. Yang penting ada satu hal : Amalan/kerja nyata. Organisasi itu hidup dulu. Ada denyut nadinya, yang ditandai dengan masih adanya diskusi-diskusi intelktual khas mahasiswa. Selebihnya, tinggal : Media Relationship,
Media Komunitas, Iklan Luar Ruang, Wariskan hingga Generasi ke Generasi, Pertahankan “Nilai Beda”-nya, dan Rawat Stakeholder-nya.

Khusus pada Media Relationship atau berhubungan dengan wartawan, sebaiknya hubungan ini dilakukan dengan tulus. Artinya, humas tidak hanya mendekat jika sedang ada 'mau' karena punya gawe sebuah acara. tapi sentuhlah ia juga dengan sisi-sisi kemanusiaannya. Dalam hal ini, aku mencontohkan adanya 2 orang wartawan yang hingga kini masih menjalin hubungan erat denganku, jauh setelah masa tugas terlewati.

Tentang ketulusan sebagai dasar berinteraksi ini, aku sempat membandingkan antara humas dengan marketing. Hehe... dengan sedikit nakal, saya menyentil bahwa dunia marketing itu penuh dengan ketidaktulusan, karena baru disebut berhasil berkomunikasi bila diakhiri dengan closing atau beli. Sementara di humas, komunikasi dilakukan untuk memori sepanjang hayat, tanpa harus beli apapun HIhi...tentu saja tidak... Dua hal itu berlainan konteks, tidak untuk dikonfrontasikan. Lagian, tanpa peran orang-orang marketing, toh orang-orang humas ga bisa gajian. Halah...gubrak!
(btw, thx buat akh darman yang anak ekonomi atas bantuannya mendeskripsikan apa itu marketing, ya...)

Sementara soal manajemen isu, singkatnya, yang bisa kita lakukan adalah : Menciptakan isu dan bukannya menunggu (Trend Setter not Trend Lover), Kawal hingga usai, Buka mata buka hati buka segala indera, untuk bersiap-siap pada Plan B, dan All Out ! Dalam kasus ini, kucontohkan KAMMI Daerah Semarang yang mengawal isu Semarang Pesona Asia (SPA) dengan sangat manis. Berbulan-bulan mereka mengawal isu ini tetap dalam garisnya : mengkritisi. Bahkan sempat pula membuat penelitian (quesioner) yang intinya : Walikota Semarang mesti bertanggunjawab terhadap penghambur-hamburan dana rakyat untuk SPA, bukannya optimal digunakan untuk sektor yang lebih membutuhkan seperti pendidikan, kesehatan, dan semacamnya.

***

Oops... waktu bergulir semakin petang. Sayup-sayup adzan berkumandang...tanda usai sudah sebuah perjumpaan. Terlebih lagi di penghujung sessi, listrik ruangan tiba-tiba padam. Dalam kegelapan, aku masih berkata-kata... Sebuah perkataan yang panjang sekaligus closing words, sebuah jawaban atas pertanyaan konstruktif dari peserta... yaitu bagaimana caranya kita bisa hidup dengan spirit humas meski kita punya banyak keterbatasan untuk menjadi humas. Dalam kegelapan itu, suasananya hening banget...dan bahkan aku bisa mendengar suaraku sendiri...bergaung dalam ruangan itu...kalimat demi kalimat...

^_^ humas adalah sebuah pekerjaan hingga akhir hayat. It's a timeliless ...It's a life time job. That's the point.

Thx guys for everyhting...arigato gozaimas...syukron katsir...maturnuwun banget... Moga kita dipertemukan lagi...pada kesempatan yang lebih baik...pada kondisi keimanan yang lebih oke...

Seeya... Panglima Besar Jenderal Soedirman! Hormat Grak!^_^

(bersambung ke Pelatihan Kehumasan (4) : On The Way Home)

(update : 20/04/08...
Uchi-ha... yang baik telah mengirimkan sebuah email kemarin. Wah isinya adalah hal yang kutunggu-tunggu, yaitu feedback berupa kritik, dan saran dari peserta. Nah, moga jadi lebih baik lagi setelah ini....thx ya, Uchi....^_^

    1. dari keseluruhan semua bagus tentang materi dan cara penyampaian. Apalagi dengan gaya yang begitu tidak membosankan njadi membuat kita bisa gak ngantuk

    2. terima kasih sebelumnya atas kehadiran Bapak. Materi yang disampaikan cukup bagus dan puitis juga kata-katanya. Jarang ada trainer yang menggunakan kata-kata seperti itu. Pasti disukai oleh murid-muridnya…! Sukses selalu!!!

    3. materinya Pak Doni sebetulnya mungkin memang sudah seharusnya. Cuma mungkin karena kondisi yang sudah cape sehingga kurang paham. Sebetulnya materinya menarik, penyampaiannya juga cukup jelas... tapi, bahasanya terlalu tinggi kali ya.. aku rada bingung, lagian kalo menurutku Pak Doni itu orientasinya semua peserta paham dengan dunuanya. Beliau ga mempertimbangkan kalo ada peserta yang baru memasuki forumnya kali ya. Contohnya aku kan baru satu kali ikut, so harus mulai dari awal, tapi Pak Doni tu tancap aja... Dengan anggapan semua peserta anak KAMMI yang udah berpengalaman, udah paham banget kehumasan gitu deh! Ya lain kali mungkin perlu mempertimbangkan aja klo ada peserta yang berasal dari luar ”dunia” KAMMI mungkin juga di panitia ada konfirmasi ke pembicara, misalnya gitu deh. Afwan klo bribet. Sukran.

    4. penyampaian materi Cita, Citra, dan Propaganda oleh pak doni. Materinya cukup menarik karna saya termasuk orang yang suka dengan kata-kata yang puitis serta penyampaian yang sangat wah banget. Tapi mungkin kendala yang ada hanya karna sudah cape’ dan penat. Itu semua mengakibatkan materi tidak masuk seutuhnya.

    5. bagus,... Lebih bersemangat lagi. Bahasanya mohon lebih disederhanakan lagi.

    6. materi yang disampaikan bagus dan cara penyampaiannya juga menarik. Tapi kalo menurut saya citra KAMMI yang sekarang belum sesuai dengan apa yang diharapkan. KAMMI hanya diidentikkan dengan aksi turun ke jalan ”demonstrasi” padahal bidang kerja KAMMI sebenarnya tidak hanya sebatas itu? Nah gi9mana cara mengubahnya? PR buat pengurus KAMMI. Mungkin Bapak bisa kasih masukan buat KAMMDA Pwt...

    7. pada dasarnya bagus memiliki ciri khas dalam membawakan materi, tapi terlalu banyak bertele-tele jadi ga sampai selesai materinya terus muter-muter, tahu tapi ga paham.

    8. dalam menyampaikan materi cukup bagus, jelas. Pembicara membuat peserta lebih berimajinasi / memiliki imajinasi lebih. Syukron wa afwan. Semoga lebih bisa baik and lebih kreatif lagi.

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Thursday, April 17, 2008

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children