[Tulisan ke-4 dari 4 tulisan..habis]

Sabtu malam, 12/04/08

20.30
Sudah di terminal lagi. Alone... Sepi menggigit. Frosh yang berbaik hati mengantarku, telah balik lagi ke kampus. Dia kuminta untuk kembali menemani Uchi-ha dan teman-teman lainnya saja. Masih ada 1 sessi malam ini. Panitia pasti membutuhkannya, dan yang utama,dia juga lebih baik menyerap materi di sessi itu dari pada menemaniku di sini.

Then, terduduk di bangku terminal. Menunggu, 1 jam lagi. Desain bangku terminal ini menarik hati. Seperti bangku taman saja. Deru mesin bus buat 'manasin' mesin terdengar kentara. Tapi di telingaku dia terdengar seperti suara mesin pemotong rumput. ^_^, raga boleh di terminal, tapi jiwa sedang berada di sebuah taman, dengan hamparan rumput yang menghijau rata, plus kolam kecil didekatnya. Tak ada angsa, soalnya dia sedang cari makan entah kemana. Yang ada adalah seberkas cahaya pagi hangat menyinari. Hemm..lumayan... Meski sekilas,itu sudah cukup buat menguatkan kembali punggung dan bahu yang terasa jenuh.

Beberapa langkah disampingku, seseorang laki-laki kurus sedang memejamkan matanya. Satu tangannya teracungkan ke atas, satunya lagi dikacakkan dipinggangnya. Mulutnya menggumam sesuatu. Kaki dan pinggulnya bergerak-gerak mengikuti sebuah irama lagu...yang terdengar dari radio kecil...."jatuh bangun aku mengejarmu...." . Hihi... sama juga. GA beda, dia juga sedang berusaha membuang jauh-jauh segala kepenatan dalam dirinya. Dengan caranya sendiri...
Pasti dia tak ingin membuka matanya.Sebab,begitu terbuka,dia bakalan ketemu lagi dengan segala derita. Utang yang menumpuk,istri yang mengeluhkan uang belanja, biaya sekolah anak-anak...dan sejuta tanggungan lainnya.

Hemmm...kuhela nafasku. BAnyak hal yang bisa disyukuri. Paling tidak,karena satu hal utama, wajah ini masih bisa terbasuh air wudhu lima kali minimal dalam sehari. Dan itulah yang menjadi pembeda. Mungkin problem kehidupan yang mendera sama, tapi caranya menghadapi, keluh kesahnya, pastilah berbeda. Dan, aku tiba-tiba merasa berhutang budi pada sekumpulan orang-orang soleh yang telah 'memahatku' hingga bisa berbentuk seperti sekarang ini. Ya, Sebuah hutang yang mungkin tak akan bisa terbayar lunas...selamanya.

21.15
On the bus. Asap rokok memenuhi ruangan. Ini Indonesia bung, bus ekonomi lagi! Jadi ga bakalan ada larangan. Cuma Jakarta yang punya perda larangan merokok di tempat publik. Itu baru perda-nya entah bagaimana pelaksanaannya. Aku cuma bisa membuka jendela lebar-lebar, berharap angin malam menyikat habis racun-racun di udara.

Bus patas sudah tak ada. Patas terakhir dari Purwokerto tujuan Semarang adalah jam 2 siang tadi. Nggak ada pilihan lain. Sebenarnya, kalau masih lajang kaya dulu, aku memilih menginap. Cari-cari pengalaman mengenal Purwokerto lebih jauh. Tapi, karena si kecil Dani sedang tak sehat di rumah, aku memilih langsung cabut ke Semarang.

Jalur yang kupilih berbeda dari jalur saat berangkat. Bus yang ini lewat selatan, lewat Purworejo, nggak lewat Wonosobo. Dibanding dengan kereta api, jalur ini yang paling efisien. Sebab rute kereta Purwokerto-Semarang tak ada. Adanya Purwokerto-Kutoarjo, yang nanti disambung bus menuju Semarang. Dan bus yang ditunggu nanti di Kutoarjo itu ya..bus ini,bus Semarang-Purwokerto.

Lagian, kalau perjalanan malam kaya gini, jalur Wonosobo sudah kehilangan daya tarik. Jalur Wonosobo paling enak di akses waktu siang hari karena pemandangannya yang indah... ya itu, karena ada gunung Sumbing dan Sindoro. Nah, kalo lewat jalur selatan...nanti akan lewat Purworejo. Hehe...itu kota penuh kenangan. Tiga tahun aku menghabiskan waktuku di situ. Menimba ilmu dengan seragam abu-abu. Plus dengan segala kenangan manis dan beberapa kisah kelabu. ^_^

Karena penumpang sedikit,aku meletakkan barang bawaan di bangku sebelah.Yup! teman sebangkuku sekarang adalah tas punggungku dan sekeranjang buah tangan dari panitia. Realistis, daripada teman bicara aku lebih butuh waktu buat istirahat. Apalagi ini malam hari. Kata The Shine, "Taking a rest is a must", Ngaso adalah sebuah kesemestian. Itu hak jasad yang mesti dipenuhi.

Di kursi seberang sana ada seorang pemuda. Pasti, aku sudah membangun komunikasi dengan dia,sejak tadi sejak bus belum berangkat. Dia sepertinya seorang "anggota". Perawakannya kekar dengan rambutnya cepak. "Ngapain pulang?" tanyaku setelah dia memberitahu kota tujuannya, Prembun. "Nengok ibu,sakit",jawabnya. Sebelumnya, dia bertanya padaku, memastikan apakah bus ini melewati Prembun. "So pasti!" jawabku. Seingatku, Prembun adalah sebuah kota kecil jelang Kutoarjo. Dulu aku pernah singgah kesana. Teman SMA-ku berasal dari sana.

HIhi...senang rasanya bisa menjawab pertanyaan orang yang sedang kebingungan. Secarik ekspresi lega terlihat dari wajahnya. "Biasane numpak sepur",katanya menjelaskan. Jelas, dia tak familiar dengan rute jalan darat. "Kemana?" tanyanya."Semarang",jawabku to the point. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mateng..." ujarnya. HIhi...tul banget. Mateng banget... enam jam duduk diam di dalam bus.

Itu komunikasiku terakhir dengannya.Sebab setelah itu,ia langsung memejamkan matanya.Tidur. Dan nanti setelah aku terbangun...itu sudah di Kutoarjo...dan ia sudah tak ada. Tidak ada pesan, tapi,ia sudah meninggalkan kesan... bahwa ia sedang berusaha menjadi anak yang baik untuk ibundanya. Meluangkan waktu buat nengok ibu yang telah sekian lama terpisah oleh waktu. Halah...! kesan itu seperti menampar wajahku. Kapan nih bisa pulang kampung,nengok ortu,negok kampung halaman...nun jauh...di sumatera sana...

00.30
Masuk Purworejo. Jalan lengang. Bus melaju kencang. Semua terlewati begitu cepat. Lampu-lampu seperti berpendar. Tapi,aku masih bisa mencermati. MAsuk Jl. Tentara Pelajar...SMA 1...Doplang...Rumah Sakit...Wartel itu... Koplak...Pangen Juru Tengah...lalu alun-alun...stasiun...terminal lama...plaza... Wah..hatiku terketuk-ketuk.Itu seperti membuka buku harian lama, yang tintanya sudah mulai menguning.^_^

Sudahlah... semua telah berlalu. Cermin diri. Itulah kata yang paling pas buat mewakili segala hal di masa lalu. Keindahan cerita masa SMA adalah inspirasi tiada putus buat menjalani hidup di masa kini. Semoga saja, temen-temen yang dulu bersama-sama mengukir prestasi dan prasasti, berada dalam kondisi penuh kebahagiaan, dalam lindungan rahmat Allah SWT...

Dalam kecepatan penuh, Purworejo tertinggal dibelakangku...meninggalkan segala kenangan... meninggalkan segala langit biru...

Ahad dini hari, 03.00
Masuk Semarang. Karena masih dinihari, bus masuk kota. Itu berarti, aku bisa langsung turun di Ngesrep. di Pintu gerbang UNDIP. Andai, tiba beberapa jam kedepan lagi, bus sudah tak boleh lagi lewat kota. Bus mesti lewat tol, langsung menluncur mulus ke terminal Terboyo di Kaligawe sana.

Di Ngesrep, patung Pangeran Diponegoro dan kudanya menyambutku. Kuda yang tak pernah lelah, udah bertahun-tahun tetap kuat mengangkat kedua kaki depannya, tak pernah dijejakkan ke tanah. Keris Pangeran Diponegoro juga tetap teracungkan ke angkasa. Sebuah pesan yang sangat jelas : yang namanya Semangat, tidak pernah boleh mati!

^_^ Jika tadi siang aku disambut sama panglima besar Jenderal Soedirman, kali ini giliran Pangeran Diponegoro yang menyambutku. hihi...asik banget.

Wait...tiba-tiba aku melihat pemandangan tak biasa. Di tepi trotoar itu, ada siluet kepala-kepala. satu...dua...emmm...ada belasan. Siapa mereka, ngapain mereka, jam 3 pagi, duduk-duduk di trotoar perempatan bangjo Ngesrep.

Langkah kakiku semakin mendekati mereka. Walah...bocah ingusan! Mereka anak-anak remaja rupanya. Sepertinya masih SMP, malah ada yang lebih kecil lagi, SD kayaknya...satu dua ada juga yang gedhean..anak SMA tuh. Aku berpikir keras, siapa mereka keluyuran sampe jam segini... Mereka jelas bukan anak 'underground'. Tampilan mereka lebih 'bersih'. Kaos hitamnya juga tak ada identitas 'underground'. Dari tindak-tanduknya, mereka seperti rada-rada takut sama sekelilingnya. Seperti takut ketahuan sama seseorang. Beda dengan anak-anak 'underground' yang udah bisa cuek abis sama tatapan lingkungan. They have their own world. Tapi yang ini tidak...

Sengaja aku mendekati mereka, aku ingin melihat wajah mereka, menatap mata mereka. Beberapa, ada yang tergeletak begitu saja di atas trotoar. Aku melangkahi badan mereka, sebagian ada yang langsung bangun memberi jalan. Sebagian lagi cuek tetap berbaring.

Ahhh... mata itu. Aku kenal betul. Mata yang tanpa visi...kosong melompong...Mata yang isinya cuma dunia hari ini...tak pernah terisi hari esok ia...Dan tiba-tiba aku tertunduk sedih. That's our new generation. Ya, Allah...tolonglah Indonesia....

Ya...aku baru ingat, semalam Slank tampil di Simpang Lima. Mereka pasti habis dari sana. Mereka adalah Slankers. Generasi Biroe. Tapi nggak juga, mereka bukan Slankers sejati, mereka cuma menyaru jadi Slankers. Slankers sejati ga mungkin menghabiskan waktunya dalam kesia-siaan. Generasi nongkrong kaya gitu, itu bukan tipikalis anak Slankers. Slankers yang sekarang mestinya seperti yang ditunjukkin sama Kaka cs waktu 'main' ke KPK...kritis abis.

Anak-anak ini cuma korban dari sebuah euphoria. Mereka tidak lihat kekuatan sebuah lirik, mereka cuma asik dengan gerak lonjak-lonjak... Mereka cuma ikut arus kemana ia mengalir.

O, matahari...segeralah munculkan sinarmu, bikinlah silau dengan sinarmu anak-anak itu. Buat mereka segera terbangun dari fanatisme semu itu.

Dalam langkahku, aku kembali ke masa lalu. Dulu, aku juga seorang Slankers. Bahkan aku masih bisa mengingat lirik "Terlalu Manis"...: 'ku ambil gitar dan mulai memainkan...lagu lama yang biasa kita nyanyikan...tapi tak sepatah kata yang bisa terucap...hanya ingatan yang ada di kepala'... juga belasan lirik lain. Kaos Generasi Biroe pun sempat aku punya.

Tapi, kurasa, mesti sama-sama ABG waktu itu, aku bersyukur, bisa mengagumi Kaka cs 'seperlunya' saja. Catch the spirit! itu yang 'perlu'. Dan bukan terjebak dalam simbol-simbol. Simbol boleh berkata tapi jika esensinya tidak, itu percuma. Lagi, Slank telah berkarya lewat lagu-lagunya. Sementara kita cuma penikmatnya saja. KApan kita bisa terinspirasi dalam kesejatian, menciptakan lirik dan lagu sekuat lirik dan lagu Slank....

***

Tidak ada ojek, tidak ada angkutan. Masih dua jam geliat aktvitas pagi baru akan dimulai. Kulangkahkan kakiku menuju sebuah mushola kecil di Ngesrep. Hingga azan subuh, aku 'bertapa' di situ.

Bumi telah semakin tua. Makin tampak kerut-kerutan di wajahnya. Tapi, para penghuninya, di negeri ini paling tidak, tak juga beranjak dari kejumudan. Ia masih sama seperti dulu, saat Rasulullah SAW pertama kali menyeru... masil larut dalam kebodohan...termasuk diriku...

tangkupkan kedua lututmu...
sentuhkanlah ia ke dagu... []

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Saturday, April 19, 2008

0 komentar

Subscribe here

Better Place For Children