Buku memang 'makhluk' luar biasa. Tak berdenyut tapi mampu menghidupkan.Tak bisa tersenyum tapi mampu menenangkan. Kehidupan dan ketenangan, itulah hal luar biasa yang bisa didapatkan, jika kita bergaul akrab dengan 'sosok' yang disebut buku. Fantastic.

Belakangan ini, entah kenapa, keinginan untuk melahap buku begitu tinggi. Mungkin ini yang disebut hikmah dari bergelut dengan 'kematian' dan 'kegelisahan'. Hati kecilku ternyata melakukan pemberontakan, dan ingin segera menggantikannya dengan 'kehidupan' dan 'ketenangan'.

Maka, jadilah ia. Aku membaca. Tiga buku sekaligus dalam satu minggu. Tak ada satupun buku cerita. Tapi semuanya bercerita.

Buku pertama, "Karenamu Aku Cemburu : Curahan Hati Seorang Istri" karya Asma Nadia dkk. Buku Kedua, "Guru : Mendidik itu Melawan" karya Eko Prasetyo, dan buku ketiga, "Leaving Microsoft to Change the World" karya John Wood.

Ketiga-tiganya "amazing book". Asma bersama 13 penulis perempuan lainnya, seperti biasa, berhasil menyentuh hati para suami, para ayah, para abi, supaya lebih mengerti kondisi istri, ibu, dan ummi. Asma, akhirnya memilih memasuki fase baru dalam menulis bab pernak-pernik rumah tangga : curhat soal isi rumah. Hal yang selama ini biasanya tersembunyi di balik kerudung para perempuan. Apalagi ini menyoal satu hal sensitif,yaitu kecemburuan. Tapi, dengan kemampuan para penulisnya yang elegan, para pembaca (minimal saya), tidak akan mendapatkan cerita aib rumah tangga, tapi satu hal yaitu teriakan: pahamilah jerit hati kami, para istri.

Sepanjang aku membaca buku itu, maka sepanjang itu pula aku mengulum senyum. Buku yang 'lucu' tapi menyentuh. Buku yang sangat 'perempuan' banget. Tapi, aku menyukainya. Aku membutuhkannya untuk menyiapkan diri jikalau kelak, semua hal dalam buku itu menghampiriku. Aku butuh biar aku lebih bisa sedikit empatik sama 'orang rumah'. Tak ada tuntutan sebenarnya. Tapi, yah... semuanya menjadi lebih terjawab mudah. Jika ada istri yang menangis tiba-tiba, cemberut tiba-tiba, satu hal jawabannya : bukan soal anggaran rumah tangga, tapi karena cemburunya.

Meski tidak tertulis, tapi buku itu berkata bahwa,sejatinya perempuan itu makhluk pencemburu. Apa saja bisa menjadi penyebab cemburu. Tidak cuma karena kagum pada perempuan lain (belum sampai pada mendua),tapi juga karena hal lain. Cemburu pada mertua yang begitu dekat sama suami. Cemburu pada masa silam suami,atau cemburu pada pekerjaan atau hobi suami. Intinya, pada hal yang bisa memecah perhatian suami kepada istri, sehingga istri merasa dinomorduakan, maka bisa dipastikan, kecemburuan akan datang. Dalam bahasa ekstrim buku ini, para istri jikalau mungkin, ingin menaruh suami pada sebuah kotak kaca di rumah, biar bisa dilihat dan dimiliki setiap hari...selamanya. hihi...^_^

Buat para suami, atau calon suami, curah hati buku ini juga menyuarakan satu hal, bahwa mereka menginginkan suami yang sedikit romantis, yang bisa menghargai jerih payah mereka bergelut dengan segala domestikisme dari hari ke hari. Romantis dengan caranya masing-masing, hatta itu dalam diamnya seorang suami pendiam.

Asma menulis, mewakili para istri :
" Kau tahu, suamiku? Betapa sering aku merasa tak berdaya Melawan waktu yang telah menyulapku - garis-garis usia yang mengelana di setiap jengkal tubuh, Sisa-sisa pertaruhan setelah persalinan, juga wajah yang sering layu karena lelah Setiap hari menyusuri isi rumah petak kita dengan rutinitas yang itu-itu saja. Seraya berharap agar kau tak menjatuhkan pandangan pada perempuan lain yang belum lagi terperangkap keajaiban waktu."

Ya, buku ini --pinjam istilah muridku-- telah mengetukku...ke-suami-anku... ke-ayah-anku...

***

Buku kedua, juga mampu mengetuk, kali ini ke-profesi-anku. Eko Prasetyo, dengan latar belakang aktivis dan mantan guru, mencoba untuk menggugah para guru. Bahwa tugas guru sejatinya adalah menumbuhkan bibit-bibit perlawanan. Melahirkan murid-murid yang kritis. Lebih dari sekedar mentransfer ilmu yang dimiliki.

Dengan komik atau karikatur yang disertakan dalam buku ini, hasilnya ajaib. Buku ini mampu menyentuh otak kanan dan otak kiri sekaligus. Membaca sambil melibatkan emosi. Komik di dalamnya sebenarnya bercerita kesedihan, tapi anehnya ditampilkan dengan riang. Sehingga, pesannya jelas, jangan menangisi keadaan. Mending tertawa aja, meski itu tertawa getir... Jadi, bisa ngebayangin ga? Ketawa tapi sebenarnya sedih... ^_^

Eko menyentil semuanya. Mengkritik pemerintah, itu sudah pasti. Tapi juga 'menempeleng' para guru, dan 'menjitak' para murid. Semua yang terlibat soal pendidikan 'dikerjainnya'. Artinya, semua orang yang berada di sekolah disebutnya bertanggungjawab terhadap kondisi para anak bangsa, yang dulunya pernah jadi murid di sekolah. Meski demikian, satu hal penting seperti yang dikutip dari Bung Hatta, guru adalah kunci utamanya. Sebab guru mencetak paradigma, melahirkan karakter, bukan menaikkan kecerdasan semata. "Nggak cerdas mudah diisi, nggak berkarakter susah sekali diobati"

Guru kritis mengajarkan bangsa pada harga diri. Bukan karena dia guru PPKn.Karena masalah harga diri bukan cuma ranah PPKN, IPS, dan Kewarganegaraan. Dia 'integrated' dalam setiap tarikan nafas setiap warga negara, apapun porfesinya, apapun sektornya. Jika dia berharga diri, maka tidaklah mungkin dia menyerahkan nasib anak bangsa pada jeratan utang luar negeri. Atau ,menjual aset penting bangsa ke negeri asing kaya kapital. Tidaklah mungkin dia tega membungkam kekritisan orang muda dengan kekerasan, senjata, dan kuasa. Karena suara kritis pada akhirnya adalah yang membuat negara ini berdaya.

Terlena dalam rutinitas transfer ilmu mata pelajaran atau mempelajari pengetahuan tanpa ruh 'perlawanan', pada gilirannya akan mencetak generasi 'bebekisme'...menjadi pengikut setia tren...menjadi budak negara pemilik teknlogi, karena silau dan kagum atas kecerdasan yang mereka miliki.

Yang jelas, tak bisa dipungkiri, aku terilhami oleh buku ini. Banyak kata dahsyat yang kutemui di buku ini. Misalnya milik William Arthur Ward :
"GUru Biasa Memberitahukan Guru baik menjelaskan Guru Ulung Memperagakan Guru Hebat mengilhami"

Tekadku sekarang jelas, aku ingin jadi guru yang bisa mengilhami. Bukan untuk disebut sebagai guru hebat. Tapi biar ilham itu beranak pinak menjadi 1000 kebajikan. Dan dengan itu, akan menjadi tiket penolongku nanti di waktu hisab... di hari penghitungan.

***

Buku Ketiga, dahsyat juga...Ia mengetukku sebagai pribadi,... sebagai personal. Jhon Wood, penulisnya sekaligus sebagai tokoh utama buku ini adalah orang langka. Lewat bukunya ini, ia meyodorkan satu lagi pelajaran berharga tentang apa sebenarnya makna hidup ini.

Tidak banyak orang seperti Jhon Wood. Jika orang kebanyakan mati-matian mengejar posisi prestisius di perusahaan prestisius, sekelas Microsoft. Wood justru meninggalkannya. Bukan untuk mengejar upah kerja lebih tinggi, tapi meraih kebahagiaan dan kepuasan hati level tinggi.

Wood pada awalnya seperti tak menginjak bumi. Dia telah memiliki segalanya, gaji yang lebih dari cukup, posisi yang disegani, perusahaan bonafid, dan segala benefit dari yang bisa diperoleh seorang pegawai. Sederhananya, dia bisa bepergian ke luar negeri mana saja yang ia mau tanpa biaya speserpun karena semuanya ditanggung perusahaan. Dan ia, memilih meninggalkan itu semua.

Istana kemapanan itu ia tinggalkan. Setelah ia tiba pada sebuah perenungan, bahwa ia selama ini tak pernah bisa mendapat cukup waktu untuk kehidupan pribadinya. Berkali-kali ia menjadi orang yang tak bisa membahagiakan orang-orang yang dicintainya, karena kepadatan pekerjaannya. Janji yang dibuatnya untuk hadir dalam acara-acara hangat keluarga, selalu berujung pada ketidakhadirannya.

Dan semuanya, makin berubah, setelah ia menginjakkan kaki di Nepal, sebagai bagian dari perjuangannya mencari esensi hidup. Sebuah paradoksal terpampang didepan mata : Dari negara dengan alam terindah, dengan keeksotikan pegunungan Himalaya, juga keramahan penduduknya, menjadi negara yang tingkat buta aksaranya paling tinggi. Buku dan Pendidikan menjadi barang mahal di negara yang jika diukur dari atas permukaan laut itu, adalah negara tertinggi di dunia.

Wood, terinspirasi oleh pengalaman emosionalnya, kemudian berusaha keras untuk menghibahkan buku, ke sebuah sekolah tua tanpa perpustakaan itu. Hal yang tanpa diduganya, kemudian menjadi cikal bakal organisasi nirlaba "Room to Read" alias Ruang Baca. Tidak hanya untuk Nepal, Room to Read juga mendirikan sekolah dan perpustakaan hingga 3600 biji di negara berkembang, khususnya asia seperti Vietnam, kamboja, dan India. Dia telah membuat jutaan anak-anak negara berkembang tersenyum karena melihat indahnya dunia melalui buku-buku.

Kelebihan gerakan nirlabanya terletak pada kemampuannya menggerakan sumberdaya lokal untuk turut serta dalam membangun komunitasnya. Jadi Wood bukan sinterklas, yang setelah memberi bantuan kemudian pergi. Dia adalah inspirator bagi mereka yang ingin memperbaiki nasib. Dan dengan jaringan yang dimilikinya (baca: yang dibangun dari nol juga), ia menyalurkan donasi dari orang dan lembaga secara bertanggungjawab hingga benar-benar tepat sasaran setiap sen dolarnya.

Wood belum berhenti hingga sekarang. Ia bertekad seluruh hidupnya diabadikan kepada gerakan penuntasan kebodohan dari literacy. Ia telah menjadi seorang internasionalis sekarang. Ikhlas membantu tanpa batasan negara...tapi atas nama kemanusiaan. Agar manusia terbebas dari kebodohan, yang dengan itu akan membawa pada kesejahteraan kehidupan.

***

Sebuah Permohonan

So, what can I do now?
Brothers and Sisters, help me... gimme your advices...

Aku merasa pintu gerbang mimpiku perlahan kini telah membuka. Sebuah desakan yang teramat besar untuk membuat perubahan dalam hidup telah begitu terasa. Dulu, aku mempunyai mimpi. Ia kutulis dalam kondisi penuh ribuan kemarahan dan kegeraman. Tapi kini, aku malah terharu membacanya kembali. Mimpi itu ternyata masih mewakili mimpiku sekarang. Tak ada perubahan sama sekali. Mimpiku itu ada pada sebuah esai yang berjudul : MUDA, MEDIA, DAN MASA DEPAN. Aku tak membual, aku telah memulainya 5-6 tahun lalu dengan mendirikan Komunitas Wedangjae (Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik) bersama teman-teman yang kini bertebaran...

Aku juga telah mengikuti sosialisasi Sertifikasi Guru, mendownload banyak materi soal itu. Semakin aku mendalami, semakin aku merasa bahwa guru profesional, yang menghabiskan waktunya minimal 24 jam seminggu untuk mengajar dari kelas ke kelas, bukanlah dunia masa depanku. Tapi aku tetap ingin menjadi guru. Dalam bahasa radikal, masa bodoh dengan sertifikasi. Aku ingin menjadi guru yang sebenar-benarnya. Yang bisa menginspirasi bagi kehidupan, tanpa terpasung oleh pagar sekolah formal. Ruh bawah sadarku mengatakan bahwa sekolah formal pada akhirnya bukan dunia yang tepat buatku. Guru sejati, berbeda dengan guru profesional. Guru profesional belum tentu menjadi guru sejati, dan guru sejati tak berambisi sama sekali untuk mengejar label profesional.

Aku ingin menjadi lebih baik dari hari ini. Mengejar kebahagiaan abadi seperti Wood lakukan, meski tak seheboh itu. Jikalau aku harus tercerabut dari institusiku bekerja sekarang, sama sekali aku tak keberatan. Bahkan jika harus berpindah geografis dan tempat tinggal akan kujalani. Aku cuma ingin satu hal...berubah!

Aku ingin mengawali semua itu dari dunia kata... tulis menulis. Mendirikan sebuah komunitas penulisan, mengumpulkan jiwa-jiwa muda yang memiliki idealisme yang sama, mencerahkan dunia dengan kata. Aku ingin menjadi publisher. Melahirkan buku-buku yang mampu menjadi guru dan inspirator. Aku ingin mengelola perpustakaan, menyediakan buku-buku, menyediakan ruang buat mereka yang ingin memperbaiki paradigma dan pola pikir, bahwa hidup ini sejatinya indah. Aku ingin menjalankan sebuah lembaga penyiaran, yang dengan itu aku bisa berpropaganda...Aku ingin memfasilitasi sebuah sekolah menulis, yang dari situ akan lahir para penulis-penulis muda berbakat dan pekerja keras dalam dunia kata.

Dengan bergelut di dunia menulis, aku bisa menjalankan tiga sekaligus peranku. Sebagai ayah dan suami, sebagai guru, dan sebagai personal. Ketiganya, membutuhkan satu hal yaitu empati. Dengan menulis aku memelihara empatiku. Dan dengan empati itu, aku akan menjalankan misi hidupku, menjadi guru dan relawan bagi literacy.

Ahhh...darimana aku harus memulai...
sobat, jikalau engkau berkenan, merapatlah padaku...
kita berbicara dari hati ke hati.
Kita susun langkah kecil, yang dengan itu semoga akan menjadi sebuah langka besar...
sobat, dimana gerangan dirimu? I do need you!

Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Wednesday, May 07, 2008

1 Responses to Permohonanku dan Energi dari 'Makhluk' Bernama Buku

  1. Anonymous Says:
  2. Gak pindah ke SoU aja? Yang potensi kepenulisan kamu bisa tersalurkan, yang lagi punya program bikin banyak buku, yang sekarang punya perusahaan penerbitan sendiri, yang setiap gurunya diarahkan untuk jadi enterpreneur juga, yang masih bisa ketemu Bang Lendo, yang lebih dekat ke ibukota, yang mau mendirikan universitas taon depan, yang so pasti bakal butuh staf baru, yang apa lagi ya....?

     

Subscribe here

Better Place For Children