Sastra Indonesia makin menggeliat. Meski toko-toko buku ternama tetap saja meletakkan novel-novel terjemahan --taruh kata seperti trilogi Twilight Meyer atau tetralogi The Da Vinci Code Dan Brown-- di deretan buku Must Read, namun karya-karya sastra lokal juga tak kalah berjumawa. Mereka berserak dan begitu menggoda untuk dibaca, dikupas, dan di apresiasi.

Begitu banyak genre yang ada sehingga para kritikus dan pemerhati sastra kebingungan untuk memberi nama angkatan karya-karya kontemporer ini, sebagaimana kita pernah mendengar ada generasi pujangga lama dan pujangga baru. Beragam rasa dan karakter membuatnya sulit untuk diklasifikasi. Buku cerita, dongeng, kumpulan cerpen, novel, dalam banyak wujud : metro pop, teentlint, chicklit atau varians sastra Islami (istilah yang hingga kini masih juga debatable), termasuk teenlit pesantren didalamnya, sungguh benar-benar memanjakan para maniak buku (di luar bahasan harga, tentunya).

Karena itu, meski semua karya fiksi teorinya disebut karya sastra, tapi buat kebutuhan standar pribadi, bagi saya tidak semua buku layak disebut sebagai karya sastra. Artinya juga, tidak semua buku layak masuk antrian dalam daftar baca.

Satu kritik mendasar tercampakkannya sebuah buku dari kategori karya sastra adalah terlalu dominannya bahasa lisan yang ditulis menjadi bahasa tulisan (seperi banyak yang ditemui dalam teenlit). Menyimak dialog-dialognya, bagi saya, itu laksana menonton sinetron, sangat...sangat melelahkan alias bikin boring. Tak ada majas, ungkapan, peribahasa, kalimat bijak, pantun, rima, dan kalimat sejenisnya yang bisa bikin kita bangga sebagai manusia; makhluk yang halus budi pekertinya. Selaras dengan visi sastra sesunguhnya: menghidupkan hati mengasah jiwa. Itu belum tinjauan jalan cerita dan ending yang kebanyakan identik dan terlalu sederhana, atau jika tidak malah sebaliknya, tak bisa dirunut logika. Bueh, tape deh... (hihi, padahal kalo disuruh nulis ya belum tentu bisa juga)

***
Adalah sebuah kehormatan, menjadi proof reader meski tak resmi, alias sekedar dimintai pendapat dan kritikan dari seorang penulis muda berbakat (semoga kelak menjadi sastrawan besar), Fina Af'idatussofa. Ini adalah novel ke sekian yang ia tulis. Novel-novel sebelumnya telah diterbitkan, baik secara indie melalui penerbit di sekolahnya (pustaka Q-Tha) ataupun penerbit publik (Matapena-Yogya).

"Air Mata dalam Kanvas" yang ditulisnya, masih setia bercerita tentang romansa di seputar dunia pesantren. Tapi mungkin ini adalah novel yang paling serius ditulisnya. Berdasarkan penuturan penulisnya, ia menulisnya dalam kurun waktu satu tahun. Artinya, jika tak cukup serius dan sabar, mustahil novel ini akan menemukan endingnya. Dengan begitu banyak peristiwa kehidupan yang mungkin dialami dalam kurun waktu setahun, rampungnya novel ini, terlebih dalam statusnya sebagai remaja kelas XII, adalah sebuah prestasi tersendiri.
Semoga saja kritik atau lebih tepatnya catatan dari (sekedar) penikmat sastra ini, menjadi penyempurna dari prestasi menulis itu.

Ide Pokok Novel
Ide pokok "Air Mata dalam Kanvas" adalah soal MANAJEMEN CINTA. Hal yang amat gurih buat remaja. Fina mencoba menyodorkan cara alternatif yang lebih baik (lebih sesuai syara') ketimbang dengan 'jadian' sebagai resume lazim dua hati muda yang dirundung cinta. Apa yang terpendam dalam hati mungkin suatu saat harus terungkap. Konsekuensi dari "inniy uhibbuki fillahi ta'ala" (aku mencintaimu karena Allah) tak harus selalu berujung pada pengikatan komitmen, yang dalam dunia remaja disebut : pacaran. Namun, lebih hakiki dari itu adalah mengembalikannya arti cinta itu kepada makna sejatinya : Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dan Indah, sebagai tokoh utama novel ini, kemudian menujukkannya dengan memilih untuk 'hijrah' ke sebuah pondok di Madura untuk menghafal Quran. Mencari ilmu, bagi seorang remaja adalah wujud lain dari kepatuhan dan kecintaan kepada Allah. Kepada ilmulah cinta itu seharusnya disematkan. Itu sebabnya, di bagian akhir, Indah menguatkan niatnya itu dengan menulis :
"Kini aku akan pergi,
entah untuk kembali atau tidak.
Selamat jalan...
Sampai berjumpa di kesempatan yang lebih baik.
Kesempatan yang semoga lebih diridhai-Nya"

Setting dan Penokohan
Kali ini, settingnya tak seratus persen di lingkungan pondok. Karena Indah, yang Ning (putri kyai) itu, sekolah di sekolah umum (SMU) favorit. Sehingga mau tak mau, ia harus berinteraksi dengan dua lingkungan yang berbeda karakter, lingkungan pondok dan masyarakat umum, berikut beragam karakter personnya. Paduan kedua lingkungan ini justru meluaskan wawasan Ning Indah menjadi lebih 'mature' dan bijak. Hal yang kemudian terbukti menolongnya ketika ia dituntut bagaimana harus bersikap terhadap dua sosok laki-laki yang sama-sama menaruh hati padanya. Fatih, sang santri idaman dan Arya, siswa paling beken di sekolah.

Tapi, yang perlu 'digugat' adalah alasan penulisnya membentuk karakter tokoh-tokoh utamanya dalam kelas "superior person", baik superior dalam 'body' maupun dalam 'mind'. Dimulai dari Indah sendiri yang dicitrakan cantik, langsing, pandai, hafalan Qurannya banyak, aktivis Rohis, supel bergaul namun memiliki prinsip, dan ditaksir banyak cowok di sekolah dan santri. Begitu juga Ning Farah, kakaknya Indah yang juga so pasti cantik dan punya banyak ilmu agama karena sudah tahunan mondok.

Tokoh laki-laki juga begitu. Fatih, adalah santri kesayangan, anak emas kyai, karena ilmunya banyak, berparas tampan, dan halus akhlaknya, dan digandrungi para santriwati termasuk para Ning. Dan yang paling kontroversi adalah tokoh Arya. Arya yang semula diceritakan seorang 'badboy', tukang bikin ulah, musuh besar ROHIS, dan playboy karena bertubuh atletis, cakep, dan mantannya model semua ternyata menyimpan segudang kelebihan lain : pandai, penggila basket, vokalis band sekolah, bahkan juga pinter melukis, dari keluarga tajir pula meski ia sempat kabur dari rumah. Pokoke perfect dah ^_^. Hebatnya lagi, tak lama setelah masuk Rohis atas 'provokasi' Indah, Arya menjadi seorang pembelajar cepat terhadap Islam. Bahkan ia bisa menangis ketika nonton film "The Message : Prophet Muhammad SAW" di sekolah. Ajaib. Tokoh lain, Alwi, yang menjadi pujaan masa silam Indah juga dicitrakan sosok berhidung mancung bermata bundar dan berbibir kecil, khas Arab. Suaranya merdu pula.

Seorang sahabat dan pemerhati remaja berkata, inilah eranya pop culture. Performance dan penampilan lebih utama daripada isi. Gaya dan fashion, plus gadget menjadi ukuran. Kemampuan otak (kecerdasan) dan hati (akhlak) nomor berikutnya. Itu tercermin dalam film-film dan sinetron remaja saat ini. Mungkin alam bawah sadar sang penulis berharap ada koreksi di situ, sehingga tampillah sosok yang memiliki segalanya. Namun pertanyaannya, di belahan dunia manakah para tokoh itu ada? Cukup Realistiskah?

Namun, itulah bedanya fiksi dan nonfiksi. Imajinasi menjadi sah-sah saja. Tak ada yang melarang. Tak ada pula aturan bakunya. Perdebatan soal imajinasi dalam fiksi ini juga tak ada endingnya. Itulah sebabnya, muncullah penulis-penulis dengan genre fiksirealis macam Dan Brown. Pijakan dasar karya mereka adalah kenyataan di muka bumi, lalu dirangkaikan jalan cerita. Namun,tentu saja karya-karya seperti ini jelas butuh riset yang mendalam. Untuk bisa menulis "Angels and Demons", Dan Brown sampai harus mengajukan surat izin khusus agar bisa mengakses dokumen-dokumen kuno dalam perpustakaan Vatikan. sebuah perburuan obsesif untuk membongkar rahasia kelompok Illuminati.

Atau mungkin pula penulis 'inspired by' buku-buku yang dibacanya. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Kang Abik, tapi "Ayat-ayat Cinta" itu juga menokohkan kesuperioran jasmani sebagai salah satu magnet terbesar, apalagi versi movienya. Sudut pandang berbeda mugkin didapat dari Ikal dan kawan-kawan dalam "Laskar Pelangi" yang ordinary person. Hanya masalahnya, Ikal dkk bukan lahir dalam novel percintaan. Pertanyaannya, adakah novel cinta dengan tokoh utamanya yang buruk rupa atau berwajah standar? Akankah pasar menerima buku sejenis ini? Jelas ada. Sastra lama berhamburan dengan itu. Pembaca pasti takkan lupa, ketika Siti Nurbaya lebih memilih Datuk Meringgi yang buruk rupa tapi patriotik, ketimbang Samsul Bahri yang ganteng tapi jadi Opas Belanda.

Cerita Cinderella dan Sang Pangeran, keduanya memiliki paras diatas rata-rata adalah dongeng imajinatif dan hanya menarik untuk segmen usia yang mengagungkan imajinasi yaitu anak-anak. Novel yang mature, rasa-rasanya akan lebih menghargai realisme daripada mimpi utopis. (celetukan nih : Nah loh, gimana dengan Bond, agen M16 007 yang selalu dikelilingi superioritas body dan selalu menjadi best seller. Jawab : Wah, kalo itu sih, perlu dibedakan dulu antara industri hiburan dengan sastra yang menyejarah. ^_^)

--jumat,pkl 00.45; masih pingin nulis, tapi mata udah nggak kuat, rehat dulu deh.. c u --

***
--07.35 pagi,hidung mampet--

Berikutnya, adalah tentang setting atau lokus yang sedikit kurang presisi. Sejak awal, setting novel ini lebih kualitatif dengan menonjolkan kekuatan kondisi suasana atau atmosfir pesantren, tanpa menyebut dengan eksplisit di daerah mana kisah itu terjadi. Namun pada dialog pada halaman ke sekian, akhirnya tersebutlah bahwa lokusnya berada di Semarang. Haqqul yaqin, Semarang yang dimaksud (bila melihat spirit novel ini), mestinya Kota Semarang sebagai kota metro, dan bukan Kabupaten Semarang yang berpusat di Ungaran.

Lokus ini diperoleh ketika Arya sebagai tokoh utama bercerita bahwa dirinya kabur dari rumahnya di Bandung karena 'crash' dengan ayahnya. Ia kemudian memilih untuk tinggal bersama Om-nya di Semarang. Namun, di dialog halaman lain, disebutkan bahwa Indah tengah bersilahturahmi ke Ning Anisah di ponpes desa sebelah. Adanya penyebutan desa disini menjadi sedikit kontradiktif dengan Semarang yang kota. Walau tentu saja, masih ada desa-desa di pinggir-pinggir Semarang seperti di Gunung pati, Meteseh, Mijen, atau Mijen. Tapi sebutan untuk daerah pinggiran itu bukan desa, melainkan kelurahan, mengingat Semarang yang menyandang status Kota Administratif. Intinya, tidak ada desa di Semarang.

Kemudian, bila kita telisik lagi, sekolah Indah yang SMU umum (nampaknya Negeri dan bukan Madrasah Aliyah) itu, pastinya juga berada di jantung kota. Sebab, langka sekali ada SMU di desa/kelurahan. Pemerintah telah mendesain sebaran sekolah, SD di setiap desa, SMP di kota kecamatan, dan SMU di kota kabupaten. Jadi, Indah bersekolah di Kota namun tinggal di lingkungan pesantren yang masih kental menjaga tradisi (karena disebutkan ponpesnya Salafiyah meski sudah berciri modern). Sulit sekali mencari ponpes demikian di Semarang, terlebih yang masih berada di sekitaran jantung kota.

Jarak dari rumah Indah ke sekolah juga bisa dipastikan dekat, karena ada banyak scene yang memperlihatkan hanya dengan sekali naik angkot, Indah sudah tiba di sekolah. Faktanya, jika benar Indah tinggal di sekitar pinggiran (yang masih dimungkinkan Ponpes Salaf berada), seharusnya Indah baru tiba di Sekolah minimal setelah 2-3 kali naik angkutan. Rute yang banyak di kota besar membuat seseorang terkadang baru bisa sampai tujuan setelah beberapa kali ganti angkutan. Bisa buskota seperti bus DAMRI bisa pula angkot. Ada pula TransJOgja dan TransJakarta sebagai contoh lain.

Disebutkan juga, Indah hanya dengan sekali naik Angkot sudah tiba di pasar (tradisional). Pasar tradisional di Semarang memang masih ada seperti pasar Mrican, pasar Jatingaleh, pasar Meteseh, dan pasar Ngaliyan juga yang paling beken Pasar Johar. Jarak pasar-pasar tersebut dengan SMU Favorit (karena didalamnya disebutkan punya beberapa siswi yang menjadi model dan punya grup Band), pada kenyataannya sulit ditempuh dengan sekali naik angkot. Sementara Indah bisa mengakses keduanya hanya dengan sekali naik angkot.

Hal seperti ini dimungkinkan terjadi bila lokusnya adalah kota kecil untuk tidak menyebutnya desa. Pasar dan pusat keramaian termasuk sekolah bisa diakses dari desa-desa memang hanya dengan sekali naik angkot. Rute disini relatif lebih sederhana. Dari Desa ke pusat kota. Dan itu berarti kota itu pastinya bukan Semarang. Mungkin Salatiga, mungkin Kendal. setipe itulah. Meski tak se-metro Semarang, kota-kota itu sudah memiliki Mall. Ini menjadi penting, karena Arya diceritakan mencari kado buat Indah di Mall.

Bisa jadi, sekali lagi ini adalah efek alam bawah sadar sang penulis. Posisinya yang tinggal di desa (Kalibening-Salatiga nan berhawa sejuk) beserta rutinitas khasnya sedikit banyak berpengaruh pada pemaparan rutinitas tokoh utamanya (Indah). Pada karya novel-novel sebelumnya, settingnya juga lebih banyak berada di desa atau kota kecil. Jadi mungkin saja, aura novel sebelumnya (seperti Gus Yahya-Bukan Cinta Biasa) mempengaruhi setting "Air MAta dalam Kanvas". Mungkin lho ya... ^_^

Alur Cerita dan Logika

Merancang alur cerita novel setebal 250 halaman tidaklah mudah. Itu sebabnya, saya selalu kagum pada novelis yang bisa begitu imajinatif dan mengalirkan alur cerita seperti air mengalir. Terlebih bila alur tersebut unik dan jarang ditemui dalam novel-novel lain. Wah, menyenangkan sekali membacanya.

Sang penulis, mungkin karena kelelahan ^_^, nyaris saja terjebak dalam alur cerita klasik dalam novel percintaan Indonesia. Dimana untuk menumbuhkan simpati dan iba, sang tokoh (Fatih dan Arya) dibuat menderita karena sakit atau kecelakaan berkendara. Alhamdulillahnya, penulis tak menjadikan itu sebagai klimaks atau skenario andalan untuk menyudahi cerita, sehingga romansanya bisa mengalir lagi, dan menjadi menarik lagi.

Secara umum, alur yang digunakan adalah alur tunggal dan sederhana. sehingga pembaca mudah saja mengikutinya. Jelas berbeda dengan novel-novel barat yang gemar memiliki alur kompleks. Aku, dalam novel ini mengerucut pada Indah. Sementara pada alur kompleks, aku bisa saja mengacu pada semua tokoh. Sudut pandang semuanya berasal dari sudut padang Indah. Tak ada bab khusus yang berganti bercerita dari sudut pandang Arya atau Fatih sebagai tokoh utama lain. Tapi, untuk segmen pembaca remaja, alur tunggal ini menjadi sah-sah saja agar mudah dicerna dan dinikmati.

Dalam novel ini ada juga kebetulan yang aneh. Yaitu saat Hp-nya Arya tak sengaja tertinggal di perpus, dan secara kebetulan ditemukan oleh Indah (yang diberi amanah oleh sekolah sebagai Pustakawan), dan kebetulan lagi saat itu mamanya arya (yang jarang banget nelpon) yang di Bandung menelpon. Dalam dunia nyata, kebetulan yang bertubi-tubi ini sangat jarang bisa terjadi. Inilah bedanya karangan fiksi dan sastra yang 'menggerakan'. Sebab sastra yang menggerakan selalu bisa membimbing logika untuk menjadi seorang pemikir (thinker) dan bukan penghayal (dreamer).

Kekuatan Bahasa
Jujur, kalimat-kalimat yang ada di novel ini lebih puitis daripada novel-novel sebelumnya yang pernah ditulis. Seperti yang sempat diutarakan penulisnya, ia sempat mengalami stagnasi, tak menemukan kata yang tepat untuk mewakili isi hati. Tapi, kerja kerasnya mencari kata-kata bijak dan puitis tak sia-sia. Kekuatan bahasa inilah yang menjadi salah satu faktor nilai jual tinggi dari novel ini.

Penulis juga berusaha keras untuk tak berkesan menggurui pembacanya ketika ia menyampaikan nilai-nilai Islam dalam berkehidupan, khususnya ketika bersinggungan soal cinta. Karena itu, ia berusaha agar bahasanya seedrhana, tapi nilai-nilai keluhuranya tetap terasa agar tak menjadi ringan betul. Tanpa penulis sadari, ia sedang berproses menjadi seorang dai, yaitu menyampaikan kebenaran (yang mungkin rumit) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna.

Puisi-puisi dalam novel ini, orisinil karya penulisnya. Meski tak terlalu menonjol dalam majas dan rima sebagaimana kekayaan kahsanah sastra Melayu dan sastra Jawa, namun pilihan kata-katanya paling tidak memberikan rasa adem tersendiri. Simak ungkapan rasa Indah berikut,

:"Jika kedekatan denganmu
Justru memudarkan rasa cinta untuk-Nya,Hendaknya aku pergi dan tak lagi merangkai aksara namamu di hatiku.
Aku terus mencari-Nya,
Hidupku telah kupasrahkan,
Aku tak ingin siapapun merenggut rindu utntuk-Nya
Karena hanya tetes-tetes cinta untuk-Nya sajalah yang membuatku masih mampu bertahan.

Untuk kau yang kemarin sudah sangat melukaiku.
Lupakan aku, kembali pada-Nya
Aku bukan siapa-siapa untukmu."


Jadi, simpulannya, ini adalah novel berharga, dan masuk ketegori Must Read. Suatu saat kita harus membedahnya, terutama dihadapan para remaja kita. setidaknya agar mereka belajar 2 hal : menyesapi sastra sekaligus belajar memanajemen cinta.

Salut juga untuk keputusan penulisnya , meletakkan lanatunan Asmaul Husna di awal tulisan. Kupikir itu tak bermakna, ternyata di bagian akhir, saat perpisahan itu terjadi, Asma yang sama dilantunkan lagi, mengiringi kepergian Indah menuntut ilmu ke Madura (Sementara Fatih pulang ke Bandung dan mondok disana). Pesannya sangat jelas, Indah sang remaja itu sedang berusaha untuk mencintai Tuhan-Nya. Ia rela berkorban untuk kecintaannya itu. Hatinya hanya untuk Allah saja. So Sweet...!

Congratulation! wa Barokallahu untuk "Air Mata dalam Kanvas".. te o pe be ge te! Semoga best Seller ya!
_____

Epilog

Cerita di balik desain cover buku.
Kebetulan yang Aneh.Saat permintaan untuk mendesain cover "Air Mata dalam Kanvas" (AMDK) tiba, itu bersamaan waktunya dengan permintaan yang sama untuk buku lainnya, antologi cerpen "Di Ujung Lembar Rindu" (DULR). Sehingga konsentrasinya terpecah. Ahamdulillah Cover DULR lebih dulu selesai dan barulah setelah itu bisa fokus pada AMDK.
Namun, ternyata kesulitannya lebih kompleks ketimbang DULR. Selain karena penulisnya tak kunjung mengirim soft copy novelnya (cuma sinopsis doang), juga karena aku tak kunjung mendapat 'blink' yang kuat. Banyak faktor sih, salah satunya mungkin juga karena chemistry-nya yang belum juga didapat. (Halah! apaan sih..^_^)

Barulah ketika sang penulis menagih covernya mungkin hampir sebulan kemudian, atau ketika aku berada dalam underpressure, blinknya menguat. Benar ternyata, tekanan deadline bisa menjadi senjata ampuh untuk menyelesaikan pekerjaan.Maka berhasillah rampung sebuah desain dengan karakter terkuat. Itu sehari sebelum sang penulis mengirim softcopy novelnya.

Ketika usai membaca novelnya, aku malah tersenyum-senyum sendiri. Tak lain karena desain yang kurancang ternyata kebetulan sama atau hampir mirip dengan ilustrasi cerita dalam novelnya. Aku memilih banyak warna dan goresan kasar untuk mewakili ekspresi rasa sedih dari pelukisnya. Hal yang serupa ternyata juga diungkapkan demikian oleh sang penulis novel.

Pada halaman dengan emosi terkuat, ia menulis :

"Arya menghalau air mata yang sudah berhasil keluar dari peraduannya. Hatinya teriris. Perpisahan yang sudah pasti terjadi itu, sebenarnya tak diindahkan oleh hatinya. Tapi apa boleh buat, cerita hanya tinggal cerita. Semua hanya manifestasi hidup yang nyata dan beberapa bisa jadi hanya akan terbungkus dalam kanvas kenangan. Tapi kenangan tak bisa begitu saja terlupakan. Buktinya, deretan kata-kata itu telah mampu membuat hati dan jiwanya bergejolak.

Reflek ia beranjak, memungut cat minyak di laci meja. Kemudian menumpahkan segala yang di hati dengan coretan-coretan yang ia goreskan di atas kain kanvas yang masih membisu. Kanvas itu ikut luruh menyaksikan air mata Arya yang kian menderas. Hatinya bagai terus dicabik-cabik. Membuat tangannya kian produktif. Mengerahkan seluruh tenaga, pikiran, perasaan, dan jiwa untuk memadukan tiap warna dalam kanvas. Ia padukan warna putih, biru, merah, kuning, hijau, dan segala warna. Tak ia pikirkan filosofi apa yang tersimpan di setiap warna yang tergurat. Semua yang tergores di atas kanvas adalah bahasa hati, bahasa jiwa yang sepenuhnya menyimpan enigma tak terbahasakan.

Ia gambarkan sebuah mata yang besar. Bening dan tengah melelehkan air matanya. Di sekitarnya ia tumbahkan warna biru kolaborasi dengan putih. Kemudian memberikan banyak goresan di sekitarnya. Tangan Arya tak berhenti. Meski sudah terengah-engah, tapi tetap tak mau berhenti. Terus menerus curhat dengan kain kanvas rindu. Dengan rinai kegelisahan yang masih menyulut tepi nuraninya.

Atap-atap kamar seperti telah runtuh memporak-porandakan serpihan hatinya. Dinding-dinding ingin berbicara. Ingin membelainya. Bahkan sorot cahaya lampupun terasa turut berbicara dan ingin memadu perasaan Arya yang galau. Intinya satu, dia memang harus melupakan. "

Bedanya, aku tak 'menggambar' mata yang besar lagi bening yang sedang menangis. Karena in my opinion, gambar seperti itu justru lebih kuat karakternya jika dalam satu warna atau duo tone. Hitam putih atau sepia. Goresan warna-warni dan ekspresif, akan lebih match jika yang digambar adalah sosok Indah, yang bagi Arya telah memporakporandakan hatinya. Itulah sebabnya, aku lebih memilih gambar wajah.

Semoga saja di setujui penulisnya, karena aku sudah tidak memiliki ide lain. Aku belum tentu bisa membuat cover dengan desain baru. Kecuali, ada desainer lain yang bersedia membuatkannya...^_^

--10.00, kepala kliyeng-kliyeng. it's over--


Diposkan oleh doniriadi.blogspot.com Friday, April 17, 2009

1 Responses to Catatan Untuk "Air Mata dalam Kanvas" Af'idatussofa

  1. Anonymous Says:
  2. Just say
    she must be patient...
    between logic and heart
    between the number of rational and irrational,
    DEDEKIND CUT!

    Fa,Fa!

     

Subscribe here

Better Place For Children