Hey,
Pada dasarnya aku kehilangan kata-kata. Bukan karena tak ada yang bisa dituangkan, tapi karena ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan. Namun, semua huruf dan kata berputar, berpencar, lalu mengumpul kembali dalam kekacauan, jadi aku harus merangkainya kembali seperti menyusun keping-keping puzzle.
Sebenarnya juga, sedari awal aku ingin rileks saja. Tak ingin tendensius menerka-nerka apa yang tersembunyi di mata. Sebab, sejatinya tak ada orang yang suka terbaca oleh orang lain, apalagi membaca sesuatu yang disimpan rapi dan berstatus privasi. Jadi kemarin itu, aku men-disable instingku, aku hadir saja dengan diriku seutuhnya, just me, tanpa antusiasme untuk 'menginvasi' orang lain, tanpa menjadi orang yang 'sok tau' apa isihati orang lain.
Sehingga, pagi cerah kemarin itu terasa semakin cerah ketika senyummu kau kembangkan. Senyum sahabat yang tulus. Haha... itu seperti sahabat yang baru bertemu setelah berpisah lama. Hangat... Ya, sedetik itu aku benar-benar meyakini kekuatan yang tersembunyi dari sabda baginda Rasulullah bahwa "Tabassumuka fi wajhi akhika..sodaqoh". Senyummu untuk saudaramu adalah sedekah. Itu berarti, pagi itu kau mengawali harimu dengan sangat manis...bersedekah untuk orang lain.
Sobat, untuk seterusnya, selama disana aku terus berusaha untuk memancarkan energi positif, energi inspiratif. Aku betul-betul tak memberikan ruang sedikitpun untuk hal-hal yang ga penting atau hal negatif lainnya. Sehingga, ketika sisi lain hatiku mengatakan "sepertinya ada sesuatu yang aneh dengan dirimu" aku tak menghiraukannya. Aku hanya ingin melihat kau tersenyum... untuk seterusnya... atau selamanya malah. Percayalah, kehadiranmu, terlebih senyummu adalah penyemarak atas keheningan...terutama keheningan batin satu.. dua.. atau banyak teman-temanmu disana.
Sebuah keceriaan kau ciptakan, maka mungkin kau merasakan juga keceriaan yang kupancarkan. Aku merasakan semangat yang lahir dari situ, apakah engkau juga? Kuharap engkau juga begitu ... Aku bahkan 'membungkus' semangat itu hingga terbawa pulang. Meski aku sempat harus berlelah-lelah menunggu sosokmu yang memang takkan datang, ketika waktu berpisah tiba. Tapi, semangat itu.... Kurasa itulah hadiah terbesar yang selalu kau dan teman-temanmu kau berikan sebagai kenang-kenangan untukku. Dan aku selalu tak tahu harus mengucapkan apa sebagai wujud terima kasihku.
***
KAu tahu? setibaku disini, terpisah jarak denganmu, aku kemudian berhasil menyusun keping-keping puzzle itu. Aku membaca ulang catatan harianmu yang tanpa judul itu, yang diatasnya kau letakkan sebuah foto "kesendirian". Foto yang kurasa sangat relevan dengan apa yang kau tulis dibawahnya. Aku membacanya, dengan perlahan, kalimat demi kalimat. Caramu mengungkapkannya begitu dalam, seakan engkau sedang berbicara dari hati ke hati, berada dihadapanku. Dan aku mendengarkannya, juga dengan begitu dalam.
Dan ajaib, hatiku bergetar, kurasa ada yg gerimis didalam sana. Sedetik mataku menghangat. How could it be. Huh! seakan aku menjadi sosok yang paling mengerti akan dirimu. Bahwa aku sungguh tidak terima dengan apa yang mereka katakan tentangmu. Engkau adalah pribadi yang hangat. Aku tahu pasti itu. Tapi kenapa mereka yang tangkap adalah kebekuanmu. Engkau adalah seorang pencerita yang hebat, tapi kenapa mereka merasa engkau adalah sosok yang lebih suka bergelut dalam diam. Aku tak terima, mereka menganggapmu aneh. Sementara aku disini bisa merasakan bahwa engkau sangatlah 'biasa'. Aku bahkan suka dengan caramu bersahabat denganku. Caramu bercerita dalam kebisuan, mengefektifkan lisan, berkata sebutuhnya, adalah pengejawantahan dari sebuah premis bahwa lisan sejatinya penuh dengan keterbatasan. Bahwa bahasa nonverbal sejatinya jauh lebih berkata jujur. Dan, bahasa nonverbalmu memperlihatkan level keakraban tingkat tinggi. Jadi, aku heran, mengapa aku yang disini yang terpisah jarak denganmu justru lebih bisa merasakannya, daripada teman-temanmu yang mungkin berada di sehimpitan jari denganmu.
Tapi, untungnya, itu sudah berlalu. Pada catatan berikutnya, kurasa engkau sudah kembali pada ' habitat'mu. Engkau telah larut kembali dalam keindahan persahabatan. Kurasa, itu jauh lebih untukmu. Artinya, sebenarnya engkau memiliki sejuta stock hati yang lembut untuk sahabat-sahabatmu, namun kau memperlihatkannya dengan cara yang khas, sehingga tak semua orang bisa memahaminya. Tapi, aku tahu pasti, engkau mencintai mereka, dengan tulus. Senyummu itu menunjukkannya. Apapun yang terjadi, pokoke senyum dong, fren...
***
Hey,
sesuatu kemudian mengejutkanku,
mungkinkah ada yang salah dalam setiap kata-kata yang kukirimkan kepadamu. Sehingga aku harus menghentikannya? Setelah sore itu,saat beliau memberondongku dengan pesan-pesan yang semula tak kumengerti apa konteksnya. Aku baru menyadari bahwa sebuah ultimatum telah dikirimkan dan itu telah membuatku berada dalam kondisi tersudut.
Ahhh...
tiba-tiba aku merasa jauh...
...
...
(thx to Justice Voice untuk judul nasyid yang kuadopsi sebagai judul posting ini.
Thx juga tuk Ariel, tuk suara emasnya,
"takkan selamanya,
raga ini menjagamu,
...
tak ada yang abadi
tak ada yang abadi")
^^ .
aku mulai lagii yaa ??
boleh kann ?
dari awal,dg kalimat dan tullisan yg lebih rapi ..
^^
tapi baru beberapa . yang itu jangan dibaca dulu . hehhe /
hahaha...
ganti blog ya..?
ya nih, dah pakdon baca...
semoga istiqomah menulisnya...
eitss..pantesan gembira banget,
ternyata....hehe ^_^
hahaha...
ganti blog ya..?
ya nih, dah pakdon baca...
semoga istiqomah menulisnya...
eitss..pantesan gembira banget,
ternyata....hehe ^_^